Direktorat Kerjasama Sosial Budaya ASEAN Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia dan Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan kegiatan Diskusi Jaring Masukan dengan tema “Diskusi Jaring Masukan Visi ASEAN Pilar Sosial Budaya Pasca 2025: Tantangan dan Way Forward” pada Selasa, 7 Mei 2024 di Hotel Royal Ambarukmo, Yogyakarta. Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) diundang sebagai salah satu peserta pada kegiatan diskusi ini. Kegiatan diskusi dipandu oleh Bapak Muhadi Sugiono selaku Kepala Bagian Penelitian, Jurnal, dan Kerjasama PSSAT UGM sebagai moderator acara.
Diskusi dibuka dengan pemaparan dari Sekretaris Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Ibu Carolina Tinangon. Beliau memaparkan tentang implementasi Visi Masyarakat ASEAN 2025 yang telah berhasil menciptakan berbagai pencapaian, ditandai dengan terbentuknya Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) dan bergabungnya Timor-Leste dalam mekanisme ASEAN sebagai observer. Lalu, untuk menyongsong visi yang lebih visioner, ASEAN sedang menyusun ASEAN Community Vision (ACV) 2045. ACV 2045 disusun dengan mempertimbangkan tantangan global di masa depan yang berkaitan dengan populasi manusia dan perkembangan teknologi, di mana tantangan tersebut harus dihadapi untuk mewujudkan ASEAN yang resilient, dynamic, dan connected. “Kepentingan Indonesia sebagai middle power Asia Tenggara juga diperhatikan dalam penyusunan ini,” ujar beliau. Walaupun begitu, ASEAN sebagai kekuatan regional pun menghadapi berbagai tantangan untuk mewujudkan visi tersebut, salah satunya adalah pace pertumbuhan dan kualitas sumber daya manusia yang berbeda-beda di setiap negara, sehingga kerja sama harus disesuaikan dengan konteks masing-masing dan perlu sinergi untuk saling mendukung perkembangan masing-masing negara.
Diskusi dilanjutkan dengan pemaparan dari Direktur ASEAN Studies Center UGM, Dr. Dafri Agussalim. “Saya tidak mau membahas permasalahan ini secara normatif,” menjadi kalimat pembuka beliau saat menyampaikan materi tentang penguatan pilar sosial-budaya ASEAN melalui kolaborasi. Dafri menyampaikan bahwa kerjasama di bidang sosial-budaya yang selama ini terjadi cenderung menghasilkan kompetisi ketimbang kolaborasi. Beliau mengambil contoh dalam pelaksanaan ASEAN Tourism Forum, di mana masing-masing negara ASEAN berlomba-lomba untuk menunjukkan kehebatan negaranya dalam bidang seni, alih-alih berkolaborasi menciptakan identitas kebudayaan ASEAN secara bersama-sama. Di sisi lain, banyaknya pekan olahraga seperti SEA Games lebih banyak meningkatkan rasa persaingan di antara negara ASEAN alih-alih kolaborasi, seperti yang tercermin dalam rivalitas sepakbola antara Indonesia dan Malaysia. Maka mentalitas kompetisi ini harus diubah menjadi mentalitas kolaborasi, di mana harapannya ASEAN bisa membentuk identitas kolektif di bidang sosial-budaya untuk meningkatkan we-feeling di antara sesama warga ASEAN. Dafri mensimulasikan kolaborasi tersebut dengan membuat sebuah bengkel produksi film yang keseluruhan produksi cerita yang mengekspos keindahan budaya ASEAN, begitu pula pemain film dan tim produksinya yang seluruhnya berasal dari para warga ASEAN. Dalam sesi penutup, Dafri memberikan sebuah pernyataan renungan untuk seluruh hadirin, “Kedepan, kalau kita ditanya, “Kamu orang mana?”, kita tidak lagi menjawab, “Orang Indonesia,” tetapi kita menjawab, “Kami orang ASEAN!” Penciptaan identitas ke-ASEAN-an ini memerlukan imajinasi baru untuk membentuk identitas yang melampaui sekat-sekat kaku negara-bangsa.
Gagasan tentang identitas kolektif ASEAN disambut baik oleh Bapak Shofwan Al Banna Choirruzad, seorang peneliti dari The Habibie Center dan dosen Universitas Indonesia. “Identitas kolektif ASEAN penting sebagai aspek imajinasi spasial untuk menjawab berbagai tantangan global”, demikian disampaikan Shofwan melalui forum daring. Shofwan juga mengatakan bahwa dunia global saat ini sedang menghadapi segitiga triple tension, yaitu interstate system yang melibatkan interaksi institusi multilateral, global economic system yang menyebabkan ketimpangan ekonomi, dan ecological system yang terdampak perubahan iklim. Identitas ASEAN penting untuk menjawab keseluruhan tantangan tersebut karena ASEAN merupakan pusat peradaban Indo-Pasifik. Identitas ASEAN tersebut diharapkan dapat bermanfaat untuk mereformasi kebijakan global, terutama dalam tata kelola pemerintahan, keuangan, dan krisis iklim.
Iqbal Dharmawan selaku Duta Muda ASEAN menjadi pemateri pamungkas pada acara diskusi jaring masukan ini. Dalam kapasitasnya sebagai Duta Muda ASEAN, ia memaparkan apa saja kegiatan yang bisa dilakukan oleh anak muda di ASEAN untuk mendukung visi sosial-budaya ASEAN Community. Pertama, pemuda dapat memanfaatkan teknologi untuk mengembangkan solusi yang berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan, seperti halnya energi terbarukan, pertanian, dan manajemen sumber daya alam. Salah satu inovasi yang dapat dilakukan dalam pemanfaatan teknologi adalah dengan membentuk sociopreneurship yang mencoba menjawab tantangan-tantangan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Kedua, pemuda dapat menjadi agen perubahan melalui edukasi. “Peran ini dapat dilakukan dengan menyampaikan informasi praktik-praktik ramah lingkungan dan pentingnya pelestarian lingkungan,” demikian disampaikan Iqbal. Terakhir, pemuda dapat berperan sebagai advokator dalam pengambilan keputusan politik dan kebijakan publik.
Setelah materi dipaparkan, giliran para peserta memberikan tanggapan kepada para pembicara. Ada berbagai ide-ide yang masuk dan melengkapi pembicaraan yang berlangsung selama kurang lebih empat jam. Salah satu peserta mengamini pentingnya intensifikasi kerja sama ASEAN untuk menghadapi tantangan global. Ada pula yang menekankan pentingnya kerja sama di bidang kebencanaan untuk membangun masyarakat sadar bencana dan mitigasi berbagai risiko bencana yang membuat rentan negara-negara secara global. Setelah diskusi selesai, peserta diperkenankan untuk menuju restoran dan makan siang bersama.