Pada tanggal 15 Maret 2023, peserta magang mahasiswa PSSAT mengadakan sharing session yang dilaksanakan tiap minggu di Bangunan PAU. Putu Prisca Lusiani, mahasiswi pascasarjana Departemen Hubungan Internasional Fisipol UGM, secara sukarela menjadi pembicara pada sesi minggu ini, dengan tajuk “Indonesia’s Chairmanship in ASEAN 2023: What to Expect?” Ia menganggap topik yang diangkat relevan sebab Indonesia merupakan negara anggota ASEAN paling besar. Oleh karenanya, negara anggota lainnya berharap kepada Indonesia untuk dapat menyelesaikan pelbagai permasalahan yang terjadi selama beberapa dasawarsa belakangan, termasuk ketidakstabilan politik di Myanmar.
Prisca memulai dengan menekankan ASEAN sebagai episentrum stabilitas dunia. Oleh karena letaknya yang strategis, ASEAN harus senantiasa menegakkan hukum internasional dan menghindari menjadi proksi dari negara adidaya manapun, baik Tiongkok atau Amerika Serikat. Terlebih lagi, ASEAN harus membentuk Asia Tenggara sebagai kawasan dengan harkat martabat yang mengedepankan hak asasi manusia, termasuk demokrasi.
Meskipun begitu, kepemimpinan Indonesia di ASEAN adalah hal yang sulit mengingat adanya ketidakstabilan politik di Myanmar, terutama perihal krisis kemanusiaan suku bangsa Rohingya yang bermukim di negara bagian Rakhine. Dua tahun setelah junta militer, situasi di Myanmar menjadi begitu kentara sehingga ASEAN dipertanyakan terkait kinerjanya. Walaupun terdapat kesulitan yang dihadapi Indonesia, pada bulan Februari dilaksanakan Retret Menteri Luar Negeri ASEAN yang mencakup kelanjutan dari Konsensus Lima Poin. Topik terkait legitimasi dari perwakilan militer Myanmar dalam menghadiri rapat-rapat ASEAN dan tahapan berikutnya bagi Utusan Khusus diprediksikan akan disampaikan. Namun, luaran yang terjadi adalah suatu pernyataan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi dialog yang inklusif.
Lebih lanjut, Prisca membagi respons negara anggota ASEAN terhadap Myanmar menjadi tiga, yakni: 1) proaktif, yang meliputi Indonesia, Malaysia, dan Thailand; 2) kurang proaktif, yang meliputi Singapura, Filipina, dan Brunei; 3) diam, yang meliputi Vietnam, Laos, dan Kamboja. Negara anggota yang proaktif cenderung telah menerima ribuan pengungsi dari Myanmar dan terdampak langsung oleh ketidakstabilan di Myanmar. Negara yang kurang proaktif tetap terdampak oleh Myanmar meskipun dalam skala yang jauh lebih rendah. Negara anggota yang tidak memilih suatu posisi pada umumnya tidak terdampak sama sekali oleh Myanmar.
Dengan adanya keterbelahan antara negara anggota ASEAN, Prisca menekankan pentingnya “Jalan ASEAN,” yakni suatu proses penentuan keputusan yang menekankan musyawarah dan mufakat. Jalan ASEAN menekankan kesejajaran antara seluruh negara anggota ASEAN serta pentingnya kerja sama, meskipun dapat memakan waktu yang lama untuk mencapai suatu mufakat. Empat unsur utama Jalan ASEAN adalah: 1) tidak intervensi; 2) tidak menggunakan kekerasan; 3) diplomasi sunyi; 4) pencapaian mufakat. Kendati demikian, Prisca mengkritik asas tidak intervensi dari ASEAN sebab dalam praktiknya, asas tersebut membuat ASEAN gagal untuk menyelesaikan berbagai pelanggaran hak asasi manusia berat.
Prisca mengakhiri presentasinya dengan membahas dua pilar sosial budaya Komunitas ASEAN: 1) akses kepada kebutuhan dasar dan pendidikan; dan 2) membangun kesadaran akan satu identitas. Sebagaimana tertulis dalam Cetak Biru ASCC 2009, pelaksanaan konkret kedua pilar tersebut meliputi advokasi peluang yang sejajar dalam pendidikan dan mendorong toleransi di antara masyarakat ASEAN.
Setelah presentasi, anggota magang berdiskusi tentang berita perihal pengungsi Rohingya yang terdampar di Aceh. Diskusi juga berputar kepada sejarah Myanmar dan keadaan sosial budaya terkini, yang dijelaskan secara rinci oleh Phoo dari Myanmar. Tidak hanya mengenai pengungsi, anggota magang juga membahas permasalahan terkini ASEAN lainnya, termasuk keamanan, penyalahgunaan narkotika, dan menurunnya demokrasi.
Ditulis oleh: Wiweko Rahadian Abyapta