Apakah Anda pernah pergi ke Borobudur pada saat Waisak? Atau pergi ke Thailand dan melihat banyak toko yang menyediakan kebutuhan para biksu? Tidak jarang, Anda perlu mempersiapkan uang lebih di dompet Anda.
Ya, ritual agama dan tradisi kebudayaan kini mulai dimanfaatkan oleh para penggiat bisnis untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar dengan dalih pariwisata berbasis budaya. Beberapa tempat ritual keagamaan menerapkan sistem tiket masuk, atau penggunaan atribut keagamaan yang mengharuskan kita membayar sewa. Selain itu, dampak ekonomi juga dirasakan oleh sekitarnya, seperti bisnis makanan dan parkir. Hal inilah yang sering disebut dengan komodifikasi, yang berasal dari kata komoditas dan modifikasi. Sebagian besar ahli dalam penggunaan kontemporer, mengartikan komoditas sebagai suatu barang atau jasa yang berhubungan dengan mode produksi kapitalis dan dapat ditemukan akibat merambahnya paham kapitalisme, ini merupakan warisan Karl Marx dan ekonom politik awal (Appadurai, 1986). Sependapat dengan Karl Marx, Greenwood (1977) pun menyatakan bahwa segala sesuatu yang dijual diasumsikan sebagai bentuk komoditas, tak terkecuali kebudayaan. Modifikasi artinya mengubah. Apabila disatukan dengan pengertian komoditas tadi, komodifikasi adalah pengubahan suatu benda untuk menjadi komoditas yang benilai ekonomis. Shepherd (2002) menyatakan bahwa seiring dengan meningkatnya permintaan wisata, komodifikasi budaya tak bisa dihindarkan karena para turis ingin merasakan pengalaman berbudaya yang beda dari tempat asal mereka. Perdebatan ini cukup hangat didiskusikan oleh publik dan pemerhati budaya maupun agama.
Kebudayaan lokal biasanya dianggap sebagai contoh utama yang rentan akan komodifikasi. Khususnya pakaian adat, ritual, festival, dan seni rakyat tradisional menjadi bagian dari komoditas pariwisata, sebagaimana mereka dipentaskan atau diproduksi semata-mata untuk konsumsi pariwisata. (Cohen, 1988). Kebudayaan lokal biasanya dengan sengaja diubah dan diperlakukan sebagai atraksi wisata sehingga dapat hancur karena kehilangan makna aslinya. Seperti yang dijelaskan oleh Greenwood, hilangnya suatu makna yang terkandung sebagai akibat komodifikasi budaya ini adalah sebuah masalah serius sebagai hasil dari berkembangnya pariwisata yang tidak terkendali.
Komodifikasi Budaya di Asia Tenggara
Di Asia Tenggara, industri pariwisata sendiri merupakan komponen penting dari perekonomian semua negara anggota ASEAN — terutama di Kamboja, Laos, Malaysia, Filipina, dan Thailand, di mana kontribusi industri pariwisata selama lebih dari 10% dari PDB dalam perekonomian mereka. Menurut World Travel Tourism Council(WTTC), pada tahun 2013 lalu negara-negara anggota ASEAN mendapatkan devisa yang cukup besar dari sektor pariwisata yaitu sebesar US $112.600.000.000 dari. Dari sisi jumlah kedatangan wisatawan, pada 2014 yang lalu ASEAN juga berhasil mendatangkan total 55 juta wisatawan dari luar ASEAN.
Kekayaan dan keanekaragaman budaya menjadi salah satu daya tarik wisata yang menjadi pilar utama kesuksesan pariwisata di Asia Tenggara ini. Dengan memanfaatkan budaya sebagai daya tarik, negara-negara di kawasan juga tidak juga luput dari permasalahan komodifikasi budaya tersebut. Seperti halnya di Indonesia dengan tradisi budaya masyarakat Hindu Bali, tari-tarian di dalamnya memiliki makna yang berlapis dan biasanya dipentaskan di pura tempat sembahyang sebagai persembahan kepada para dewa. Dalam konteks kepariwisataan, pertunjukan tari-tarian merupakan salah satu bentuk hiburan yang kemudian bisa diperjualbelikan kepada para turis. Baker et al. (2006) menyoroti tentang dampak yang dibawa oleh pariwisata kepada Tari Barong yang populer di kalangan para turis. Baker menjelaskan bagaimana I Made Kredek, seorang penari sekaligus koreografer terkenal dari Desa Singapadu, memperkenalkan versi pendek dari Tari Barong yang hanya berdurasi satu jam sehingga lebih cocok untuk disajikan kepada para turis. Versi ini juga terdapat bagian ‘kerasukan’ dari para penarinya meskipun hanyalah sebuah simulasi yang terkontrol, berdurasi singkat, dan dengan dialog yang minimal. Lebih jauh lagi, kostum yang digunakan juga sengaja disesuaikan dengan selera para turis. Sebagai contoh, topeng Barong di beberapa pertunjukan bahkan dibuat mirip dengan topeng kepala singa Barongsai yang biasa ditemui di Asia Timur supaya lebih menarik perhatian wisatawan dari daerah tersebut. Upaya ini memicu polemik di antara masyarakat Bali. Di satu sisi ada beberapa orang yang setuju dan beropini bahwa penciptaan versi ‘turis’ dari Tari Barong sebenarnya ini adalah sebuah usaha untuk memisahkan Tari Barong asli yang sakral dan digunakan untuk upacara ritual. Sedangkan beberapa orang lain tetap tidak setuju dan beranggapan bahwa Tarian Barong seharusnya hanya untuk keperluan ritual saja untuk menjaga kesakralannya, bukan untuk disajikan kepada para turis.
Tidak jauh berbeda dengan Bali, industri pariwisata di Thailand telah berkembang sedemikian pesatnya hingga Thailand berhasil menarik wisatawan dengan jumlah yang masif, hingga mencapai angka 29,88 juta wisatawan pada tahun 2015 yang lalu. Pariwisata juga telah berjasa memberikan sumbangsih sebesar 10 persen dari PDB Thailand. Distrik Chiangkhan, di Provinsi Loei telah terkenal sebagai sebuah daerah tujuan wisata budaya yang penting di bagian barat laut. Ketika industri pariwisata Thailand semakin berkembang, banyak sekali produk budaya masyarakat Chiangkhan yang sengaja dimodifikasi lalu dijual kepada wisatawan (Meekaew & Srisontisuk, 2012). Misalnya saja, rumah-rumah tradisional warga yang sengaja direnovasi menjadi homestay kemudian ditawarkan kepada para wisatawan. Komodifikasi budaya lainnya terjadi pada ritual sedekah beras ketan kepada para biksu yang biasa dilakukan oleh warga sekitar. Beras ketan diletakkan di dalam mangkuk-mangkuk kemudian dikirim ke sebuah kuil bersama dengan makanan dan bunga-bunga. Para pemilik usaha perjalanan dan pemilik homestay melihat peluang bisnis dan membuat sebuah paket kemasan yang berisikan beras ketan, makanan, dan bunga-bunga yang dapat dibeli oleh para wisatawan. Jelas, upaya tersebut merupakan komodifikasi karena kehadiran pariwisata di sana telah merubah nilai dari ritual ini dan mengubahnya menjadi salah satu komoditas yang dapat dijual.
Hal serupa terjadi di Vietnam. Mua roi nuoc, berasal dari bahasa Vietnam yang berarti ‘boneka yang menari di atas air’, adalah sejenis wayang yang merupakan seni pertunjukan tradisional Vietnam. Wayang ini mirip dengan wayang golek di Indonesia. Yang membedakan ialah pertunjukan wayang yang beratnya 10-15 kg ini disajikan di atas panggung berupa kolam berisi air setinggi pinggang. Pertunjukan wayang air Mua roi nuoc berakar pada nilai-nilai agama dari kehidupan agraris di Vietnam (Pack, Eblin, & Walther, 2012). Pertunjukan ini menghubungkan aspek penting dari agama dan spiritualitas yang diwujudkan dalam cerita-cerita rakyat dalam pementasannya selama berabad-abad. Seiring dengan meningkatnya popularitas Mua roi nuoc di kalangan wisatawan, para praktisi modern telah mengubah komponen kunci dari penampilan mereka baik dari segi isi dan format yang bertujuan untuk menarik penonton dari wisatawan mancangera. Misalnya, topik utama yang mengangkat kehidupan rakyat pedesaan Vietnam kini telah digabungkan dengan topik-topik lain yang lebih universal seperti cinta dan asmara. Tokoh-tokoh yang dimunculkan juga terpengaruh oleh budaya asing seperti dimunculkannya tokoh koboi. Durasi pertunjukan telah dipersingkat secara signifikan untuk memaksimalkan jumlah pertunjukan dalam sehari. Tak heran bahwa dewasa ini banyak pemimpin adat, dalang, dan tokoh kebudayaan yang mengklaim bahwa pertunjukan kontemporer ini telah kehilangan nilai pertunjukan ritualnya yang terkait dengan spiritualitas pedesaan Vietnam.
Antara Kebutuhan Pariwisata dan Pemeliharaan Budaya
Bagai dua sisi mata uang, kehadiran pariwisata di Asia Tenggara mendatangkan pengaruh yang positif maupun negatif. Sisi positif yang kita bisa peroleh ialah bahwa pariwisata telah memutar roda perekonomian sehingga mampu mendatangkan devisa yang cukup besar. Pariwisata juga berperan sebagai sebuah sarana mempelajari budaya asing sehingga kita bisa mendapatkan cross cultural understanding untuk menciptakan perdamaian dunia yang diimpi-impikan. Namun mau tidak mau, kita juga merasakan efek negatif dari hadirnya pariwisata berupa komodifikasi budaya lokal seperti yang sudah dijelaskan. Untuk menyikapi hal tersebut, damage control (pengendalian kerusakan) perlu dilakukan agar kebudayaan tidak berubah penuh menjadi hanya sebagai paid performance, perlu dipisahkan mana budaya yang sakral dan mana budaya yang dapat dipromosikan kepada turis. Salah satu pendekatan lain yang mungkin bisa dilakukan adalah proses de-marketing dengan maksud pembatasan/pengeksklusifan wisatawan yang datang ke daerah wisata teresbut. Hal ini didasari asumsi bahwa wisatawan dengan jumlah yang berlebihan, atau sering disebut dengan mass tourism, dapat merusak nilai-nilai yang ada di tempat tersebut (Swarbrooke, 1999).
Budaya lebih menonjolkan nilai-nilai kearifan yang terkandung di dalamnya, sementara ekonomi lebih menonjolkan sisi komersial dan kesejahteraan masyarakat. Harus ada titik seimbang antara budaya dan ekonomi. Harus ada pemisahan mana kebudayaan yang bermakna dalam dan sakral dengan bagian dari kebudayaan tersebut yang boleh dipromosikan untuk wisata. Meskipun dapat dikatakan bahwa cukup sulit untuk mencapai hal tersebut, namun pada akhirnya akan mendatangkan manfaat dan kebaikan bagi kebudayaan itu sendiri. Harus ada keyakinan bahwa tidak mustahil untuk menemukan keseimbangan yang sempurna di antara. Hasil kebudayaan masih bisa dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata, selama para pemain dunia pariwisata tidak gelap mata dan mengubah intisari kebudayaan tersebut semata-mata untuk meraup keuntungan belaka.
REFERENSI:
Appadurai, A. (1986). Commodities in Cultural Perspective. Cambride: Cambridge University Press.
Barker, T., Putra, D., & Wiranatha, A. (2006). Authenticity and commodification of Balinese dance performances. Cultural Tourism in a Changing World, 215.
Cohen, E. (1988). Authenticity and commoditization in tourism. Annals of Tourism Research, Volume 15, 371-386.
Greenwood, D. J. (1977). Culture by the pound: An anthropological perspective on tourism as cultural commoditization. Hosts and Guests: The Antrophology of Tourism, 129-138.
Meekaew, N., & Srisontisuk, S. (2012). Chiangkhan: Cultural commodification for tourism and its impact on local community. International Proceedings of Economics Development and Research, Volume 42, 34-37.
Pack, S., Eblin, M. and Walther, C. (2012). Water puppetry in the red river delta and beyond: tourism and the commodification of an ancient tradition. ASIANetwork Exchange: A Journal for Asian Studies in the Liberal Arts, Volume 19(2)
Shepherd, R. (2002). Commodification, Culture, and Tourism. Volume 2(2), 183-201.
Swarbrooke, J. (1999). Sustainable Tourism Management. New York: CABI Publishing.
—
Artikel yang ditulis oleh Aninda Dewayanti & Riza A. Raafigani.