Istilah ‘transgender’ mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita. Transgender yang dimaksud dalam artikel ini berarti orang yang memiliki identitas gender atau ekspresi gender yang berbeda dengan gender yang mereka miliki ketika lahir, baik dari wanita ke pria, maupun sebaliknya.
Asia Tenggara merupakan satu kawasan di mana agama menjadi faktor yang paling diperhitungkan, sehingga transgender kerap kali dianggap melanggar norma. Tidak jarang di Asia Tenggara, transgender mendapat perlakuan diskriminasi, terutama untuk menikmati kehidupan yang layak. Bahkan mereka sering diusir paksa, dipecat, dan sebagainya. Padahal, transgender adalah manusia dan warga negara yang memiliki hak asasi. Di samping itu, harus selalu diingat, bahwa negara berkewajiban untuk memberikan perlindungan kepada warga negaranya, tanpa adanya pengecualian. Dengan demikian, fenomena transgender perlu kita soroti.
Bicara tentang transgender yang senantiasa menuntut adanya kesetaraan dalam keberagaman, memunculkan suatu pertanyaan besar tentang bagaimana hukum mengatur tentang transgender. Sebagaimana diketahui, rata-rata hukum di dunia, mengatur segala sesuatunya dengan membagi jenis kelamin warga negara ke dalam dua golongan: laki-laki dan perempuan. Misalnya, seperti yang kita dapati di Indonesia, dalam hukum ketenagakerjaan, ada cuti tertentu yang hanya dapat diambil oleh wanita atau pidana perkosaan yang dirumuskan dengan ciri khusus korban wanita.
Di Indonesia, mayoritas masyarakat masih menganggap transgender sebagai suatu hal yang ‘tidak biasa’. Meskipun demikian, ada segelintir orang yang peduli dengan fenomena ini. Hal ini terbukti dengan adanya Yayasan Srikandi yang mulai berdiri sejak tahun 1998 dan berfokus pada masalah kesehatan yang berkaitan dengan transgender dan pekerjaan mereka. Selain itu, pada 2010 ada kasus terkait transgender yang cukup terkenal, yakni Alter Hofan. Alter adalah seorang pria yang dulunya wanita. Kemudian, ia menikah dengan seorang wanita bernama Jane. Mengetahui Alter adalah transgender, ibunda Jane melaporkan pernikahan tersebut ke polisi dengan alasan penipuan. Setelah menjalani persidangan di PN Jakarta Selatan, majelis hakim memutuskan Alterina divonis lepas dari segala tuntutan karena majelis hakim berpendapat bahwa hal tersebut bukan merupakan tindak pidana. Bahkan pada tingkat kasasi, berkas putusan menyatakan bahwa meskipun Terdakwa telah terbukti mengajukan permohonan identitas dari jenis kelamin perempuan ke laki-laki, tetapi perbuatan itu dilakukan atas dorongan jiwa yang disebabkan oleh adanya kelainan yang disebut sindroma klinefetser, sehingga lagi-lagi ia lepas dari segala tuntutan.
Menurut hukum Indonesia, sebagaimana tertuang dalam Pasal 28 Ayat 1 UUD 45, setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan hidupnya. Maksud ‘setiap orang’ dalam pasal ini pastinya ditujukan untuk seluruh warga negara Indonesia, terlepas dari kondisi masing-masing. Kemudian, dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 71 menegaskan bahwa pemerintah wajib dan bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM.
Pada kenyataanya, pemerintah memang memberikan perhatian kepada warga negara transgender, sebagaimana Kementerian Kesehatan senantiasa memberikan obat-obatan HIV/AIDS secara gratis kepada transgender. Lembaga negara Komnas HAM juga selalu menegaskan bahwa setiap warga negara, terlepas dari bagaimanapun kondisinya, memiliki hak yang sama dan tidak boleh didiskriminasi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa, terlepas dari anggapan negatif masyarakat, menurut hukum Indonesia, transgender tetap memiliki status sebagai warga negara yang memiliki kewajiban untuk membangun negaranya dan menyukseskan pembangunan negara. Oleh karena itu, hak untuk transgender tetap berlaku, termasuk hak atas pekerjaan, jaminan sosial, standar hidup yang layak, kesehatan, pendidikan, dan mereka pun harus berperan serta dalam kehidupan budaya.
Di samping Indonesia, Thailand sebagai salah satu negara di Asia Tenggara dapat dikatakan lebih terbuka terhadap eksistensi transgender, melihat banyaknya ladyboy di sana. Transgender di Thailand memiliki julukan “kathoey”. Mereka biasanya bekerja di dunia hiburan Thailand, acaraTV, dan pertunjukan klub malam. Thailand juga selangkah lebih maju dalam mendukung dan melindungi hak transgender. Terbukti, mereka menerbitkan “Gender Equality Act” pada September 2015 guna menghapuskan diskriminasi, salah satunya terhadap transgender. Undang-undang ini mengkriminalkan diskriminasi di antara identitas seksual yang mnegaskan bahwa diskriminasi yang tidak adil kepada seorang yang memiliki ekspresi seksual yang berbeda dari jenis kelamin awalnya merupakan satu tindak pidana.
Meskipun demikian, seperti halnya di Indonesia, diskriminasi terhadap transgender masih ada di Thailand, sebagaimana artikel di Bangkok Post pada tahun 2013 yang mengklaim adanya diskriminasi sosial pada transgender di sana. Bangkok Post mengatakan bahwa tidak akan ditemukan transgender dengan pekerjaan yang tinggi dan berkelas, seperti dokter, advokat, ilmuwan, guru di sekolah dan universitas negeri, dan eksekutif di perusahaan. Oleh karena itu, kebanyakan transgender menjadi wirausaha atau freelancer. Bahkan pada 1954, transgender sempat dilarang masuk ke ranah militer karena mereka dianggap memiliki ‘ganggungan jiwa’. Namun, keputusan ini dicabut pada 2005.
Sampai sekarang ini, fenomena transgender masih menjadi perdebatan di negara-negara di Asia Tenggara. Namun, Thailand dan Indonesia, melalui pemerintah dan beberapa pihaknya, sebenarnya tetap memperlakukan transgender sama seperti warga negara lain pada umumnya.
—
Artikel ini ditulis oleh Vicky Van Winkelhoff, seorang mahasiswa sarjana di Fakultas Hukum di Universitas Islam Indonesia, ketika magang di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (CESASS).