Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) merupakan bidang yang banyak diminati saat ini. Hal tersebut sesuai dengan jumlah pemelajar maupun pengajar BIPA yang tersebar di seluruh dunia. Berdasarkan data dari “Peta Lembaga BIPA”, sebanyak 29 negara dan 420 lembaga di dalam dan luar Indonesia tercatat sebagai lembaga penyelenggara program BIPA, seperti sekolah, perguruan tinggi, lembaga kursus, lembaga pemerintah atau swasta, dan komunitas yang menyelenggarakan pengajaran BIPA (https://bipa.kemdikbud.go.id). Tingginya angka peminat tersebut didukung oleh beberapa program pemerintah yakni internasionalisasi bahasa Indonesia. Pernyataan tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 Pasal 44 tentang peningkatan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional. Jadi, sudah saatnya dunia ke-BIPA-an dipandang sebagai dunia industri yang bergerak di bidang jasa/pelayanan, baik untuk menunjang aktivitas industri yang lain maupun secara langsung untuk memberikan jasa kepada konsumen. Untuk itu, diperlukan program pendidikan dan pelatihan vokasi industri ke-BIPA-an guna menyiapkan generasi muda agar lebih berjati diri dan berdaya saing memanfaatkan peluang dan tantangan perdagangan bebas dengan cara revitalisasi pembelajaran BIPA.
Pembelajaran BIPA adalah proses pembelajaran bahasa Indonesia yang berkedudukan sebagai bahasa asing secara sistematis dan terencana. Pembelajaran BIPA mempunyai target tertentu dan dituangkan dalam sebuah perencanaan pembelajaran atau program pembelajaran BIPA (Kusmiatun, 2018: 37). Proses dan materi pembelajaran bahasa dikhususkan pada objektivitas dan kebutuhan pemelajar asing dan bertujuan untuk memungkinkan pemelajar BIPA untuk berbicara bahasa Indonesia dan mengenal kebudayaan-kebudayaan Indonesia. Pembelajaran BIPA dan pembelajaran bahasa Indonesia yang dilakukan pada umumnya sangat berbeda. Perbedaan tersebut dikarenakan pemelajarnya yang berbeda. Oleh karena itu, penyusunan program BIPA juga digunakan metode yang khusus.
Penyusunan program pembelajaran BIPA dapat dilakukan setelah melakukan analisis kebutuhan pada pemelajarnya. Suyitno (2005: 19) menyebutkan terdapat empat aspek yang menjadi indikator kebutuhan pemelajar. Pertama, aspek sosiologis yang meliputi data personal, tujuan belajar, dan hasil yang diinginkan. Kedua, aspek linguis terkait dengan bahasa Indonesia yang mana dan seperti apa yang akan diajarkan. Ketiga, aspek psikologis terkait dengan sikap dan karakter pembelajar serta kemampuannya dalam belajar. Keempat, aspek pedagosis terkait kecakapan untuk menentukan langkah pengajarannya.
Keberhasilan penyusunan program pembelajaran BIPA dapat dilihat sesuai ketercapaian kompetensi berbahasa pemelajar. Ketercapaian dapat dipenuhi dengan revitalisasi gaya pengajar dan pemahaman lintas budaya yang dimiliki oleh pengajar. Kedua kompetensi tersebut merupakan tantangan sekaligus prospek baik yang senantiasa harus ditingkatkan oleh pengajar dalam dunia ke-BIPA-an.
BIPA dipandang sebagai sesuatu yang menjanjikan bagi berbagai pihak. Pada waktu mendatang akan bergelora gerakan diplomasi total dengan semakin banyak warga masyarakat yang terlibat, terutama generasi muda milenial dalam penginternasionalan bahasa Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut, program pedagogis ke-BIPA-an harus memberikan jaminan kemampuan daya sintas bagi warga negara asing yang hendak mencelupkan diri di lingkungan kerja industri. Jika dikaji lebih mendalam pengajar memiliki peranan yang cukup signifikan dalam keberhasilan revitalisasi dunia ke-BIPA-an berkaitan dengan vokasi industri.
Pentingnya Revitalisasi Gaya Belajar
Revitalisasi berarti proses menghidupkan atau menggiatkan kembali. Konteks revitalisasi dalam gaya belajar bermakna memahami karakteristik perbedaan gaya belajar dan memaksimalkan kondisi tersebut melalui proses tertentu. Secara umum, terdapat tiga jenis gaya belajar yang dikenal luas, yaitu gaya belajar visual, gaya belajar auditif, dan gaya belajar kinestetik.
Pemelajar BIPA memiliki gaya belajar yang khas dan kadang-kadang didominasi oleh latar belakang budaya mereka (Suyitno, 2007:64). Gaya belajar dapat menjadi kunci untuk mengembangkan kinerja dalam pembelajaran baik di sekolah maupun di universitas atau lembaga belajar lain. Ketika mengetahui cara termudah seseorang menyerap dan mengolah informasi, belajar dan berkomunikasi menjadi sesuatu yang mudah dan menyenangkan, termasuk di dalamnya ketika mempelajari bahasa baru. Namun demikian, perlu disadari bahwa tidak semua orang memiliki gaya belajar yang sama. Walaupun mereka berada pada jenjang yang sama.
Pentingnya Pemahaman Lintas Budaya
Pemahaman budaya oleh pengajar penting diimplementasikan. Pembelajaran bahasa selalu berkaitan juga dengan budaya. Kepekaan budaya menjadi penting karena persamaan dan perbedaan budaya antara manusia tentu ada tanpa memandang suatu nilai – mana yang positif atau negatif, lebih baik atau jelek, baik atau buruk. Dalam praktiknya, pengajar BIPA tidak dapat mengabaikan nilai budaya ketika mengajarkan bahasa. Jadi, pengajar dituntut paham mengenai latar belakang budaya pemelajar secara mendalam.
Pemelajar BIPA adalah orang-orang yang bukan berkebangsaan Indonesia. Pemelajar BIPA berasal dari berbagai macam negara di dunia dari semua benua. Oleh karena itu, mereka pasti memiliki latar belakang budaya yang berbeda satu sama lain. Latar belakang budaya yang mereka miliki dapat pula berpengaruh pada gaya belajar mereka. Secara umum karaktersitik latar belakang budaya pemelajar BIPA dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu pemelajar Asia, pemelajar Afrika, dan pemelajar Amerika dan Eropa (Susanto, 2014).
Pertama, pemelajar dari Asia cenderung pasif dalam suatu forum atau kelas. Mereka sering kali tidak berani mengambil risiko atau takut akan kesalahan. Mereka juga kurang suka jika dianggap tidak mampu atau diremehkan. Namun demikian, pemelajar dari Asia umumnya giat mencari tahu jawaban atau memperbaiki kesalahan mereka di luar kelas. Mereka juga tidak mudah menyerah dan memiliki disiplin yang tinggi.
Kedua, pemelajar dari Afrika pada umumnya dikenal lamban dan memahami sesuatu akan tetapi mereka bersedia belajar dengan sungguh-sungguh. Mereka tidak malu melakukan kesalahan ketika belajar dan tidak malu pula untuk bertanya tentang hal yang belum mereka pahami. Mereka memiliki semangat belajar yang tinggi dan menyenangi belajar dengan berkelompok.
Ketiga, pemelajar dari Amerika dan Eropa cenderung memiliki sifat individualistik. Mereka lebih menyenangi tugas individu daripada kelompok. Pemelajar Amerika dan Eropa juga menyukai pembelajaran yang terprogram secara teratur, rencana belajar dan tujuan belajar yang jelas. Mereka juga memerlukan kontak mata secara langsung ketika berbicara untuk menunjukkan kesopanan. Mereka dengan senang hati menerima kritik dan komentar-komentar koreksi atas kesalahan mereka.
Dengan demikian, tantangan vokasi industri ke-BIPA-an tersebut perlu dijawab dengan menyusun suatu program. Para pengajar dan pegiat BIPA terus mengupayakan untuk menyusun program standar kompetensi bagi pemelajar. Program tersebut bernama Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (RSKKNI) pengajar BIPA. Rancangan yang disusun harus disesuaikan dengan penjenjangan pemelajar BIPA dan analisis kebutuhan pada pemelajarnya didukung oleh kompetensi yang dimiliki pengajar BIPA yang bertujuan agar terdapat kesamaan persepsi atau pemahaman bahwa pengajaran BIPA juga merupakan dunia industri, selain dunia pedagogi dan diplomasi kebahasaan. Tujuan utama penyusunan RSKKNI Pengajar BIPA tersebut untuk mendukung peningkatan taraf perekonomian Indonesia melalui dunia industri ke-BIPA-an, terutama di kalangan generasi muda milenial, di samping untuk mendukung peningkatan fungsi bahasa Indonesia di dunia internasional, salah satunya melalui revitalisasi pembelajaran BIPA. Revitalisasi penting dilakukan dengan memahami macam gaya belajar dan pemahaman lintas budaya yang baik sesuai dengan tipe pemelajar pada vokasi industri yang tersedia.
Referensi
Kemdikbud. 2019. Peta Lembaga BIPA. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa Kemdikbud (Diakses melalui https://bipa.kemdikbud.go.id/jaga pada 18 Mei 2019).
Kusmiatun, Ari. 2010. Mengenal BIPA (Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing) dan Pembelajarannya. Yogyakarta: K-Media.
Susanto, Gatut. 2014. “Strategi Belajar Bahasa Indonesia Mahasiswa Critical Language Scholarship Tingkat Pemula di Program BIPA Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang”. Disertasi. Pascassarjana. Universitas Negeri Malang. Malang.
Suyitno, Imam. 2005. Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (Teori, Strategi, dan Aplikasi Pembelajarannya). Yogyakarta: CV Grafika Indah.
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 pasal 44 tentang fungsi bahasa Indonesia. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Artikel ini ditulis oleh Ageng Satrio Prabowo, mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta saat menjalani magang di Pusat Studi Asia Tenggara