Sampah global diperkirakan akan tumbuh menjadi 3,40 miliar ton pada tahun yang sama, sistem pengelolaan sampah menjadi masalah yang paling mengkhawatirkan terutama di Indonesia yang sudah berjuang untuk menangani tingkat sampah saat ini. Center for Southeast Asian Studies (CESASS) Universitas Gadjah Mada (UGM) pada Senin (9/6-2021) menyelenggarakan SEA CHAT #27 dengan topik “Swimming in Plastic: An Examination into Indonesia’s Waste Management System”. Diskusi dilakukan oleh Mingming Alice Sun, Mahasiswa tahun kedua dari Ilmu Politik dan Hubungan Internasional & Antropologi dan Sosiologi dari University of Western Australia.
Dalam diskusi kali ini, Alice berfokus untuk memerangi beberapa isu seperti tempat pembuangan sampah, bank sampah, dan dampak globalisasi yang banyak berkontribusi pada masalah pengelolaan sampah. Sampah dalam jumlah besar yang sekarang kita lihat sebagian besar merupakan produk sampingan dari aktivitas manusia. Pengelolaan sampah yang baik dan masalah-masalah yang terkait adalah isu global yang mempengaruhi sosial-ekonomi negara. Kombinasi sumber daya lokal termasuk infrastruktur di Asia Tenggara membuat perjuangan untuk membuang sampah tersebut. Ada tindakan preventif seperti 3R reuse, reduction, dan recycle. Sangat penting untuk mengakui bahwa terkadang hal ini tidak dapat dijangkau dan solusi lain harus dibuat untuk menyimpan dengan aman jenis limbah yang berpotensi beracun untuk menerapkan sistem pengelolaan limbah yang layak.
Diskusi kemudian dilanjutkan dengan contoh pembuangan sampah yang tidak tepat di Sungai Citarum. Ini menjadi salah satu sungai tercemar di dunia dengan hampir 3.000 industri mencoba membuang limbah di sungai ini sementara banyak orang mengandalkan sungai ini untuk mengairi dan menyediakan pasokan air. Kondisi ini membuat tingkat degradasi yang lambat, meningkatkan potensi longsor dan plastik mikro terdeteksi, dan masalah kualitas air membawa beberapa implikasi kesehatan. Presiden RI Joko Widodo berhasil menciptakan idealisme agar air sungai bisa diminum melalui pelaksanaan proyek pembersihan. Kemudian proyek ini telah direplikasi menjadi kenaikan air yang sangat tercemar lainnya. Contoh lain yang dibawa oleh Alice adalah TPA Bantar Gebang, yang digunakan oleh pemerintah untuk mengambil sampah dan meletakkannya di tempat yang telah ditentukan. Solusi ini relatif mudah dan juga relatif murah. Tempat pembuangan sampah ini sekarang menimbulkan masalah lingkungan dan kesehatan yang nyata.
Seperti banyak negara Asia Tenggara, Indonesia telah mengadopsi pendekatan serupa untuk sistem pengelolaan sampah berkelanjutan melalui Undang-Undang Pengelolaan Sampah 18/2008: pengurangan dan penanganan sampah. Hal ini meningkatkan bank sampah di Indonesia yang memiliki inisiatif untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang tingkat sampah dan pada akhirnya strategi untuk mengubah sampah menjadi manfaat finansial bagi masyarakat yang terlibat. Penting untuk diketahui bahwa bank sampah berasal dari berbagai titik, pencegahan dan solusi. Inisiatif akar rumput yang disebut “Bye-bye Plastic Bag” didirikan oleh Melati dan Isabel Wijsen pada tahun 2013 untuk mengadvokasi pembersihan pulau asal mereka di Bali. Kampanye tersebut kemudian diangkat oleh media lokal dan diberikan audiensi dengan Gubernur Bali.
Alice melanjutkan presentasi dengan ekspor sampah ke luar negeri dan dia menyimpulkan dengan kutipan “Pertanyaannya ada pada kita, bagaimana kita mengurangi konsumsi dalam masyarakat yang bergantung pada konsumsi dan sementara kita dapat menggunakan kembali (reuse) dan mendaur ulang (recycle) solusi akhir untuk mencegah limbah yang berlebihan pada sistem manajemen sampah. Industri harus bertanggung jawab atas limbah yang mereka buat dan juga tergantung pada kita untuk memastikan bahwa kita mendaur ulang dan kita mencegah sebanyak mungkin sampah dibuang ke TPA”.