Center for Southeast Asian Social Studies Universitas Gadjah Mada mengadakan diskusi panel bertajuk SEA CHAT #30 yang dilaksanakan pada tanggal 29 Agustus 2022. Secara umum, CESASS UGM memiliki kepedulian terhadap isu-isu sosial, ekonomi, politik, dan budaya di kawasan Asia Tenggara. seperti yang tertuang dalam diskusi panel. ini. Pada SEA CHAT #30, pembicara akan dibawakan oleh Sodya Yadyaunnajabah dari UPN “Veteran Yogyakarta” jurusan Manajemen Bencana, dan sesi kedua oleh Fadel Ikram dari Universitas Gadjah Mada jurusan Sosiologi.
Pada sesi pertama SEA CHAT #30, Sodya mempresentasikan topik yang berjudul “Under the Shadow of Merapi: Merapi’s Eruption Mitigation in the Late Colonial Era 1930-the 1940s“. Pembahasan terkait erupsi ini bermula dari kekhawatiran akan potensi ancaman Indonesia terhadap bencana, terutama dari letusan gunung, dalam ruang lingkup penelitian erupsi Gunung Merapi tahun 1930-1940. Dalam diskusi ini, Sodya mempresentasikan bagaimana masyarakat dapat menangani bencana baik dari pihak organisasi maupun pemerintah dalam menyikapi erupsi Gunung Merapi tahun 1930-1940. Pada masa penjajahan Belanda 1905-1922, pemerintah Belanda memiliki beberapa instansi untuk menangani penanggulangan bencana. Realisasi dari badan penanggulangan bencana ini pun beragam mulai dari pembangunan menara pemantau hingga pemetaan daerah-daerah dengan potensi bencana yang tinggi. Pemerintah Belanda juga membentuk kebijakan untuk menghadapi letusan, khususnya Gunung Merapi pada masa pemerintahannya.
Kemudian pada sesi kedua SEA CHAT #30, Fadel membawakan topik yang berjudul “Migration and Identity Negotiation Among LGBTQIA+ in Southeast Asia Coming of Age Phenomenon“. Fadel memulai dengan bagaimana migrasi internal di kalangan pemuda merupakan arus penduduk terbesar di sebagian besar negara berkembang dan terkait erat dengan distribusi pembangunan yang tidak merata dan persiapan untuk dewasa misalnya pendidikan, pekerjaan, pernikahan, dll. Apalagi dengan perkembangan teknologi. , pemuda masa depan diprediksi akan lebih mobile dari sebelumnya. Migrasi itu sendiri, seringkali dianggap sebagai bagian dari ritus peralihan bagi kaum muda di banyak bagian Asia Tenggara sebelum menikah. Dalam konteks Indonesia, ada penekanan pada migrasi atau “merantau” untuk mencari lebih banyak pengalaman, dan dalam konteks Asia Tenggara, itu sangat umum. Masa muda merupakan masa yang sangat krusial dalam transisi dan pembentukan menuju masa dewasa, dalam konteks migrasi, masa migrasi ini sangat penting dalam pembentukan dan eksplorasi identitas. Selama masa migrasi ini, kaum muda cenderung lebih bebas dari pengawasan orang tua, norma-norma keluarga tradisional, dan koneksi ke kampung halaman mereka yang menjadikan masa migrasi ini sebagai tempat untuk menjalankan agensi individu. Selain sebagai salah satu faktor pendorong, seksualitas dan identitas juga dianggap sebagai aspek penting dalam hal integrasi dan inkorporasi pemuda ke dalam ‘new society’ selama migrasi. Di Asia Tenggara, tidak ada negara yang membolehkan penyatuan atau perkawinan secara legal bagi orang-orang LGBTQIA+, karena dapat dikatakan bahwa hak-hak komunitas LGBTQIA+ sangat kurang. Setiap negara di Asia Tenggara memiliki persepsi dan tingkat toleransi yang berbeda terhadap komunitas LGBTQIA+, yang akan menjadi sangat penting dalam menentukan dan membentuk pengalaman migrasi pemuda LGBTQIA+. Kemudian, diskusi panel ini ditutup dengan diskusi antara pemateri dan peserta.