Pusat Studi Sosial Asia Tenggara menggelar kembali program Southeast Asian Chat (SEA CHAT) pada hari Selasa, 24 Januari 2023. SEA CHAT #37 dengan judul If I was the Director: Breaking the Eurocentric in Postcolonialism and Transnational of Film De Oost (The East) yang dipresentasikan oleh Syfa Amelia sebagai mahasiswa magang PSSAT UGM yang berasal dari program studi Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Gadjah Mada.
Diskusi diawali dengan penjelasan secara singkat tentang alur dan sinopsis film De Oost (The East) yang dirilis pada tahun 2020 dan disutradarai oleh Jim Taihuttu. Syfa menjelaskan analisisnya tentang kritik sebagai masyarakat post-kolonial tentang film De Oost (The East) yang menggunakan white perspective dalam produksi film tersebut. Dari hasil analisis Syfa, film ini kurang sesuai dengan peristiwa nyata yang terjadi di masa lalu antara Indonesia dan Belanda. Menurutnya pula, dalam film ini cukup banyak adegan stereotyping yang terjadi antara penjajah Negeri Barat dan Eropa kepada Indonesia. Hal ini, menjadi topik yang menarik untuk dibahas dalam lingkup post-kolonialisme mengingat Indonesia adalah salah satu negara Asia tenggara yang pernah terjajah dan memiliki korelasi dengan film De Oost (The East) karena berlatar Indonesia.
Syfa juga memaparkan poin penting mengenai bentuk teori poskolonialisme yang dapat di analisis dalam sebuah film. Topik ini juga menjadi salah satu jalan untuk mahasiswa atau masyarakat untuk mengerti bahwa film dapat menjadi media pengantar sejarah, hegemoni, ataupun media komoditas fiksi. Selain itu Syfa juga menjelaskan secara singkat fungsi seting media dalam memproduksi film seperti teknik sorotan, latar tempat, lighting warna dan lainnya, yang memiliki makna khusus dalam film De Oost (The East).
Materi #SEACHAT37 kali ini pun menuai diskusi yang aktif antara presenter dan peserta. Salah satu pertanyaan dari peserta yaitu, apakah nilai postkolonialisme dalam sebuah film dapat dipahami secara mudah oleh masyarakat dalam mengkonsumsi film sebagai media entertainmen? Lantas, adakah indikator tertentu untuk menentukan bahwa sebuah film masuk dalam kategori postcolonial movie? Kemudian, Syfa menjelaskan bahwa sebuah film dapat ditarik nilai atau dikritisi dalam teori postkolonialisme apabila konsumen tersebut telah menerima atau mengerti definisi atau teori postkolonialisme di dalam sebuah film. Tak heran beberapa konsumen atau masyarakat umum tidak menemukan nilai postkolonialisme dalam sebuah film karena menganggap film tersebut hanyalah film yang ber-genre action atau sejarah. Selain itu, Syfa juga menjelaskan bahwa tidak ada indikator pasti untuk mengetahui apakah sebuah film sudah masuk dalam ‘postcolonialism movie’ atau tidak, namun yang dapat kita pahami bahwa nilai postcolonial dalam sebuah film dapat kita lihat dari relasi antara dua negara yang terjajah dan menjajah, atau adanya peperangan atau perlawanan antara dua negara tersebut sehingga salah satunya memperoleh kekuasaan yang mutlak atau merdeka.
Sebelum SEA CHAT #33 berakhir, ada pula beberapa pertanyaan menarik dari peserta yang dijawab oleh Syfa. Untuk informasi lebih lanjut dan informasi lainnya tentang SEA CHAT yang telah diadakan ataupun yang akan dilaksanakan mendatang, silahkan cek akun Instagram @pssatugm dan website http://pssat.ugm.ac.id/.
Oleh: Dyny Wahyu Seputri