• Tentang UGM
  • IT Center
  • Bahasa Indonesia
    • Bahasa Indonesia
    • English
Universitas Gadjah Mada Pusat Studi Sosial Asia Tenggara
Universitas Gajah Mada
  • Beranda
  • Tentang Kami
    • Selayang Pandang
    • Peneliti
    • Peneliti Mitra
    • Mitra
    • Perpustakaan
  • Penelitian
    • Penelitian
    • Kluster
  • Program
    • MMAT (SUMMER COURSE)
      • Summer Course 2021
      • Summer Course 2022
      • Summer Course 2023
      • PROGRAM SUMMER COURSE MMAT 2024 SOCIAL TRANSFORMATION IN CONTEMPORARY SOUTHEAST ASIA
    • ASEAN Day
    • Symposium on Social Science (SOSS)
      • Symposium on Social Science 2018
      • Symposium on Social Science 2020
    • SEA MCA
    • SEA Talk
    • CESASS TALK (Forum Diskusi)
    • SEA Chat
    • SEA Movie
    • Magang
      • MAGANG DOMESTIK
      • Aktivitas Magang
      • Essay Magang
    • Workshop Kominfo
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Prosiding
  • Esai Akademik
    • Ekonomi & Kesejahteraan Sosial
    • Hukum dan Hak Asasi Manusia
    • Media dan Komunikasi
    • Pendidikan
    • Politik dan Hubungan Internasional
    • Sejarah dan Budaya
    • Panduan Artikel
  • Beranda
  • Magang
  • Aktivitas Magang
  • SEA CHAT #37: If I was the Director: Breaking the Eurocentric in Postcolonialism and Transnational of Film De Oost (The East) by Syfa Amelia

SEA CHAT #37: If I was the Director: Breaking the Eurocentric in Postcolonialism and Transnational of Film De Oost (The East) by Syfa Amelia

  • Aktivitas Magang
  • 24 Januari 2023, 11.00
  • Oleh: pssat
  • 0

Pusat Studi Sosial Asia Tenggara menggelar kembali program Southeast Asian Chat (SEA CHAT) pada hari Selasa, 24 Januari 2023. SEA CHAT #37 dengan judul If I was the Director: Breaking the Eurocentric in Postcolonialism and Transnational of Film De Oost (The East) yang dipresentasikan oleh Syfa Amelia sebagai mahasiswa magang PSSAT UGM yang berasal dari program studi Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Gadjah Mada. 

Diskusi diawali dengan penjelasan secara singkat tentang alur dan sinopsis film De Oost (The East) yang dirilis pada tahun 2020 dan disutradarai oleh Jim Taihuttu. Syfa menjelaskan analisisnya tentang kritik sebagai masyarakat post-kolonial tentang film De Oost (The East) yang menggunakan white perspective dalam produksi film tersebut. Dari hasil analisis Syfa, film ini kurang sesuai dengan peristiwa nyata yang terjadi di masa lalu antara Indonesia dan Belanda. Menurutnya pula, dalam film ini cukup banyak adegan stereotyping yang terjadi antara penjajah Negeri Barat dan Eropa kepada Indonesia. Hal ini, menjadi topik yang menarik untuk dibahas dalam lingkup post-kolonialisme mengingat Indonesia adalah salah satu negara Asia tenggara yang pernah terjajah dan memiliki korelasi dengan film De Oost (The East) karena berlatar Indonesia.

Syfa juga memaparkan poin penting mengenai bentuk teori poskolonialisme yang dapat di analisis dalam sebuah film. Topik ini juga menjadi salah satu jalan untuk mahasiswa atau masyarakat untuk mengerti bahwa film dapat menjadi media pengantar sejarah, hegemoni, ataupun media komoditas fiksi. Selain itu Syfa juga menjelaskan secara singkat fungsi seting media dalam memproduksi film seperti teknik sorotan, latar tempat, lighting warna dan lainnya, yang memiliki makna khusus dalam film De Oost (The East). 

Materi #SEACHAT37 kali ini pun menuai diskusi yang aktif antara presenter dan peserta. Salah satu pertanyaan dari peserta yaitu, apakah nilai postkolonialisme dalam sebuah film dapat dipahami secara mudah oleh masyarakat dalam mengkonsumsi film sebagai media entertainmen? Lantas, adakah indikator tertentu untuk menentukan bahwa sebuah film masuk dalam kategori postcolonial movie? Kemudian, Syfa menjelaskan bahwa sebuah film dapat ditarik nilai atau dikritisi dalam teori postkolonialisme apabila konsumen tersebut telah menerima atau mengerti definisi atau teori postkolonialisme di dalam sebuah film. Tak heran beberapa konsumen atau masyarakat umum tidak menemukan nilai postkolonialisme dalam sebuah film karena menganggap film tersebut hanyalah film yang ber-genre action atau sejarah. Selain itu, Syfa juga menjelaskan bahwa tidak ada indikator pasti untuk mengetahui apakah sebuah film sudah masuk dalam ‘postcolonialism movie’ atau tidak, namun yang dapat kita pahami bahwa nilai postcolonial dalam sebuah film dapat kita lihat dari relasi antara dua negara yang terjajah dan menjajah, atau adanya peperangan atau perlawanan antara dua negara tersebut sehingga salah satunya memperoleh kekuasaan yang mutlak atau merdeka. 

Sebelum SEA CHAT #33 berakhir, ada pula beberapa pertanyaan menarik dari peserta yang dijawab oleh Syfa. Untuk informasi lebih lanjut dan informasi lainnya tentang SEA CHAT yang telah diadakan ataupun yang akan dilaksanakan mendatang, silahkan cek akun Instagram @pssatugm dan website http://pssat.ugm.ac.id/. 

Oleh: Dyny Wahyu Seputri

Tags: asean budaya seachat sejarah

Leave A Comment Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

Recent Posts

  • CESASS UGM menyambut perwakilan dari Asian School of Business-MIT Sloan School of Management, Malaysia
  • PSSAT UGM selenggarakan The 17th International Asian Urbanization Conference
  • Kepala Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) UGM menjadi pembicara pada acara Global Immersion Guarantee (GIG) Program UGM, ACICIS, and Monash University
  • CESASS UGM Menyambut Kunjungan Pimpinan Harvard-Yenching Institute
  • Seminar dan Monitoring-Evaluasi Akhir RKI 2024 Proyek Riset “Creative, Innovative, and Smart Sustainable City Concept for Capital City.”
Universitas Gadjah Mada

Pusat Studi Sosial Asia Tenggara
Universitas Gajah Mada

Gedung PAU, Jl. Teknika Utara
Daerah Istimewa Yogyakarta 55281
pssat@ugm.ac.id
+62 274 589658

Instagram | Twitter | FB Page | Linkedin |

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju