Produksi pengetahuan yang terjadi karena interaksi sosial para pelajar Indonesia di Mesir, khususnya di Universitas Al-Azhar, memiliki peran besar dalam pembentukan identitas kosmopolitan. Dalam konteks ini, kondisi sosial sehari-hari mahasiswa di Mesir ternyata lebih berpengaruh dalam produksi pengetahuan daripada latar belakang akademik. Hal ini disampaikan oleh Prof. Dr. Judith Schlehe, Profesor dari Departemen Antropologi Universitas Freiburg, dalam diskusi SEA-Talks #14 pada Jumat (07/04). Diskusi bertajuk “Student Mobility & Knowledge Migration: Indonesian Azharites as Cultural Agents” ini diadakan di kantor Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM.
Mengutip Vertovec dan Cohen (2002), Prof. Schlehe menjelaskan bahwa untuk membentuk identitas kosmopolitan, para pelajar Indonesia harus terlibat interakasi sosio-kultural yang sifatnya cross-cultural. Alih-alih menjadi batasan atau pemisah, konstruksi antara diri dan liyan dan perbedaan kultural harus bisa diapresiasi serta menjadi pendorong interaksi. Artinya, reproduksi pengetahuan demi membentuk identitas kosmopolitan akan terjadi jika para pelajar Indonesia berinteraksi dengan para warga Mesir dalam konteks inter-kultural.
Pun demikian, berdasarkan riset yang dilakukan oleh Prof. Schlehe di asrama mahasiswa Indonesia di Kairo, interaksi inter-kultural sangat minim terjadi. Para pelajar Indonesia hanya berinteraksi di ruang terbatas yang sangat homogen, yakni dengan sesama pelajar Indonesia di asrama mereka. Bahkan, mereka tidak berteman akrab dengan orang Mesir. Selain itu, ruang interaksi di dalam kampus juga minim karena banyak mahasiswa Indonesia di Universitas Al-Azhar yang jarang (46%) atau bahkan tidak pernah (17%) mengikuti perkuliahan. Hal ini mungkin terjadi karena banyak di antara pelajar Indonesia di Mesir, terutama Kairo, yang harus bekerja untuk membiayai hidup. Apalagi, ada konteks atau institusi yang mengikat mereka dengan negara asal, yakni Indonesia. Institusi ini misalnya adalah asrama daerah yang didirikan oleh pemerintah daerah di Mesir. Asrama ini memfasilitasi interaksi mereka dengan sesama pelajar Indonesia, membuat mereka sulit untuk meluaskan interaksi sosial di luar zona ‘aman’. Kondisi ini sangat berbeda dengan di Alexandria. Pelajar Indonesia di sana bergaul dekat dengan orang Mesir karena tidak ada institusi yang mengikat mereka dengan Indonesia dan sedikitnya warga Indonesia di Alexandria.
Minimnya interaksi dengan para warga Mesir membuat para pelajar Indonesia di Kairo tidak bisa mendekonstruksi imaji akan warga Mesir yang sifatnya negatif dan stereotipikal. Bahkan, imaji ini mereka dapatkan dari narasi-narasi yang diceritakan rekan mereka dan dari media, bukan dari pengalaman pribadi. Sifat-sifat yang diasosiasikan para pelajar Indonesia kepada warga Mesir adalah kasar, suka mencuri, kotor, berbahaya, dan opresif terhadap perempuan. Menurut Prof. Schlehe, hal ini menunjukkan bagaimana pelajar Indonesia mengonstsruksikan batas antara diri dan liyan dengan menekankan pada inferioritas moral dari liyan.
Dari hasil riset etnografi yang Prof. Schlehe paparkan, Beliau menarik kesimpulan bahwa hibridisasi budaya dan reproduksi pengetahuan yang bisa mendorong identitas kosmopolitan dan pluralisme tidak terjadi. Hal ini karena para pelajar Indonesia mengeksklusi diri dari pergaulan inter-kultural. Padahal, Prof. Schlehe menekankan, kosmopolitanisme dan pluralisme hanya akan terbentuk jika produksi pengetahuan para alumni dan pelajar Indonesia di Mesir terjadi dalam lingkup ruang sosial yang lebih luas, tidak hanya dalam komunitas yang homogen dan terbatas. (Anggi)