Pembahasan perihal aksi unjuk rasa 411 dan 212 di Indonesia memang tidak pernah ada habisnya. Baik pihak yang pro maupun kontra terus bermunculan. Dengan berpegang teguh pada argumen dan paham masing-masing, mereka terus memperbanyak massa dan pengikut. Dalam SEA-Talks #16 yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) UGM pada (30/8) silam, aksi 212 dikupas oleh pembicara Dr.Abdul Gaffar Karim, dosen jurusan Politik dan Pemerintahan, Fisipol, UGM dalam diskusi bertema “Radikalisme Dan Unattended Communities”.
Sebagai seorang peneliti, Pak Abdul Gaffar turut serta dalam aksi unjuk rasa pada tanggal 21 Februari 2017 untuk menyaksikan objek penelitiannya dengan mata kepala sendiri. Pak Abdul Gaffar selaku pembicara benar-benar menyalakan api semangat pada SEA-Talks #16 dan membuat para hadirin terpaku mendengarkan ceritanya selama mengamati aksi 212 di kawasan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Senayan, Jakarta Pusat.
Pak Abdul Gaffar menceritakan bagaimana aksi 212 berlangsung dengan tertib. Dana yang mengalir pada aksi unjuk rasa banyak, terbukti dari makanan yang melimpah dan dibagikan secara gratis. Tidak hanya itu, akomodasi penginapan dan transportasi rombongan yang berasal dari luar Jakarta juga dibiayai sepenuhnya sampai para rombongan tidak perlu mengeluarkan dana sepeser pun. Dana yang melimpah tidak diketahui berasal dari mana. Para penyelenggara mendapatkannya ketika sebelumnya membuka donasi untuk aksi ini via media sosial.
Diawali dengan cerita pengalaman Pak Abdul Gaffar di Jakarta Pusat, SEA-Talks #16 pun dilanjutkan dengan rumusan permasalahan dalam perihal siapa orang-orang yang menjadi pelaku aksi unjuk rasa 212, terutama yang berasal dari Yogyakarta. Jawabannya detail dan menarik. Alih-alih anggota organisasi kemasyarakatan, ternyata orang-orang tersebut adalah apa yang disebutnya unattended communities, yaitu orang-orang dari kalangan menengah ke bawah yang tidak mendapatkan akses terhadap basic services seperti pendidikan dan kesehatan, serta tidak mendapatkan social support.
Orang-orang inilah yang ternyata tergabung dalam kelompok-kelompok kecil yang diam-diam menyebarkan paham radikal. Alasannya jelas, karena dengan bergabung dalam kelompok itu, masyarakat yang termasuk ke dalam unattended communities tersebut mendapatkan apa yang tidak mereka dapatkan sebelumnya. Kehidupan mereka disokong oleh kelompok itu, bahkan hutang-hutang mereka pun dilunasi. Tidak heran, apapun akan mereka lakukan demi mendapatkan hidup yang layak, meskipun dengan tergabung ke dalam kelompok berpaham radikal.
Memang, radikalisme merupakan bibit dari terorisme. Namun, Pak Abdul Gaffar menekankan bahwa keduanya berbeda; penganut paham radikal belum tentu teroris. Dengan demikian, salah satu cara untuk menanggulangi aksi radikal yang berujung teror adalah dengan perbaikan sistem dari pemerintah pusat dan daerah sehingga basic services dapat diakses oleh semua kalangan masyarakat sehingga unattended communities berkurang dan penyebaran paham radikal pun tidak semakin meluas. (Nitya)