Myanmar adalah sebuah negara Indo-China yang dahulu dikenal dengan nama Burma telah mengalami gejolak perang saudara yang sangat lama. Sejak kemerdekaannya pada tahun 1948, Myanmar kerap menghadapi konflik antar etnis yang membuatnya dikecam negara lain. Aung San Suu Kyi, negarawan yang meraih nobel perdamaian tahun 1991 pun dianggap tidak serius dalam menangani konflik berkepanjangan di negaranya.
Menyingkapi konflik Rohingya yang saat ini menjadi perhatian dunia, tak terkecual di Indonesia, SEA Talks #17 kali ini mengundang Dr. Budiawan yang merupakan pengajar di Prodi Kajian Budaya dan Media, Sekolah Pascasarjana UGM sebagai pembicara. Topik yang disajikan adalah “Krisis Rohingya dan Problema Nasionalisme-Religius” yang dimulai dengan pelacakan historis keberadaan orang Rohingya sampai asumsi yang menggerakkan kejahatan genosida terhadap etnis Rohingya dan etnis minoritas lain di Myanmar. Diskusi ini dibuka dengan pemaparan opini dari beberapa tokoh dan lembaga Indonesia yang menegaskan bahwa krisis Rohingya bukan hanya merupakan konflik agama melainkan multidimensi. Mengutip pernyataan dari Dr. Budiawan, “Krisis Rohingya memang bukan konflik agama dalam arti sebagai konflik apalagi semata-mata karena perbedaan agama, akan tetapi Krisis Rohingya tidak bisa dilepaskan dari persoalan perbedaan agama dan etnis antara etnis Burma (Buddha) dan etnis Rohingya (Muslim).”
Myanmar merupakan tanah jajahan Inggris yang mempunyai sejarah panjang tentang pergantian kekuasaan. Dimulai dari era pra-kolonial, Myanmar secara kuat dipengaruhi oleh paham Buddha Theravada yang dipimpin oleh Raja Anawrahtar. Buddhisme Theravada dianggap sebagai pemersatu dan pengikat kesetiaan para raja kecil dan rakyat kepada raja pada masa itu.
Budiawan menjelaskan konflik Myanmar dapat ditilik dari adanya upaya pembentukan negara yang merujuk ke etnik/religius ketimbang modern/sekuler, seperti Indonesia. Pembentukan negara yang etnik/religius ini mengacu pada keadaan negara yang menjadikan salah satu etnis atau agama sebagai pengikat bangsa. Akibatnya, bentuk negara yang etnik/religius ini tentu menyingkirkan kelompok-kelompok etnis dan agama yang minoritas. Di Myanmar tidak hanya etnis Rohingya yang diekslusikan, tetapi juga suku Karen, Shan, dan Chin. Dengan demikian, upaya untuk menciptakan negara yang berdaulat, modern, dan inklusif seperti cita-cita Jenderal Aung Sang, ayahanda Aung San Suu Kyi, masih mengalami tantangan, terutama dari kelompok-kelompok militer dan ekstrimis pendukung negara etnik/religius.
Asal muasal konflik Rohingya bermula dari daerah Rakhine (Arakan) yang merupakan zona yang diperebutkan oleh paham Buddhisme Theravada dan raja-raja Muslim yang berkedudukan di Bangladesh bagian timur, berbatasan langsung dengan Myanmar. Dengan menelusuri pendekatan historis, orang-orang Rohingya pada awalnya didatangkan oleh imperialis Inggris sebagai tenaga kerja. Menurut Budiawan, kolonialisme Inggris turut menciptakan gesekan antar etnis antara orang Rohingya sebagai “kesayangan” Inggris dengan orang Burma.
Proses pengekslusivian itu terus berlanjut hingga Myanmar merdeka di tahun 1948. Sebagai negara yang cenderung menutup diri dari dunia internasional dan dikuasai oleh militer, Myanmar menetapkan sebuah konstitusi baru pada tahun 1974. Konstitusi tersebut mengatur bahwa kekuasaan politik militer diserahkan kepada majelis rakyat namun majelis rakyat tersebut justru masih dipimpin oleh jenderal militer. Selanjutnya pada tahun 1982, pemerintah Myanmar menetapkan UU Kewarganegaraan terbaru yang mengatur status kewarganegaraan seluruh masyarakat dan etnis yang tinggal di Myanmar. Di dalam UU tersebut, etnis Rohingya dianggap bukan sebagai warga negara Myanmar melainkan Bangladesh. Pengekslusian ini menyebabkan eksodus besar-besaran orang Rohingya ke berbagai tempat. Keadaan ini makin diperparah dengan golongna ekstrimis yang menggunakan agama untuk mewujudkan negara etnik/religius (MaBaTha) untuk merepresi etnis-etnis minoritas termasuk Rohingya di Myanmar. Diskusi berakhir dengan tanya-jawab dari para peserta yang sangat terlihat antusias dengan pemaparan yang dilakukan Budiawan. (Gharin)