• Tentang UGM
  • IT Center
  • Bahasa IndonesiaBahasa Indonesia
    • Bahasa IndonesiaBahasa Indonesia
    • EnglishEnglish
Universitas Gadjah Mada Pusat Studi Sosial Asia Tenggara
Universitas Gajah Mada
  • Beranda
  • Tentang Kami
    • Selayang Pandang
    • Peneliti
    • Peneliti Mitra
    • Mitra
    • Perpustakaan
  • Penelitian
    • Penelitian
    • Kluster
  • Program
    • MMAT (SUMMER COURSE)
      • Summer Course 2021
      • Summer Course 2022
    • Symposium on Social Science (SOSS)
      • Symposium on Social Science 2018
      • Symposium on Social Science 2020
    • SEA MCA
    • SEA Gate
    • SEA Talk
    • SEA Chat
    • SEA Movie
    • Magang
      • MAGANG DOMESTIK
      • MAGANG INTERNASIONAL
    • Workshop Kominfo
  • Publikasi
    • Jurnal
    • IKAT
    • Buku
  • Esai Akademik
    • Budaya & Linguistik
    • Media & Komunikasi
    • Ekonomi & Kesejahteraan Sosial
    • Pendidikan
    • Hukum & HAM
    • Politik & Pemerintahan
    • Masyarakat Digital
    • Panduan Artikel
  • Beranda
  • Aktivitas
  • [SEA Talk #17] Menelisik Problema Rohingya

[SEA Talk #17] Menelisik Problema Rohingya

  • Aktivitas, SEA Talk_ind
  • 26 September 2017, 12.36
  • Oleh: pssat
  • 0

Myanmar adalah sebuah negara Indo-China yang dahulu dikenal dengan nama Burma telah mengalami gejolak perang saudara yang sangat lama. Sejak kemerdekaannya pada tahun 1948, Myanmar kerap menghadapi konflik antar etnis yang membuatnya dikecam negara lain. Aung San Suu Kyi, negarawan yang meraih nobel perdamaian tahun 1991 pun dianggap tidak serius dalam menangani konflik berkepanjangan di negaranya.

Menyingkapi konflik Rohingya yang saat ini menjadi perhatian dunia, tak terkecual di Indonesia, SEA Talks #17 kali ini mengundang Dr. Budiawan yang merupakan pengajar di Prodi Kajian Budaya dan Media, Sekolah Pascasarjana UGM sebagai pembicara. Topik yang disajikan adalah “Krisis Rohingya dan Problema Nasionalisme-Religius” yang dimulai dengan pelacakan historis keberadaan orang Rohingya sampai asumsi yang menggerakkan kejahatan genosida terhadap etnis Rohingya dan etnis minoritas lain di Myanmar. Diskusi ini dibuka dengan pemaparan opini dari beberapa tokoh dan lembaga Indonesia yang menegaskan bahwa krisis Rohingya bukan hanya merupakan konflik agama melainkan multidimensi. Mengutip pernyataan dari Dr. Budiawan, “Krisis Rohingya memang bukan konflik agama dalam arti sebagai konflik apalagi semata-mata karena perbedaan agama, akan tetapi Krisis Rohingya tidak bisa dilepaskan dari persoalan perbedaan agama dan etnis antara etnis Burma (Buddha) dan etnis Rohingya (Muslim).”

Myanmar merupakan tanah jajahan Inggris yang mempunyai sejarah panjang tentang pergantian kekuasaan. Dimulai dari era pra-kolonial, Myanmar secara kuat dipengaruhi oleh paham Buddha Theravada yang dipimpin oleh Raja Anawrahtar. Buddhisme Theravada dianggap sebagai pemersatu dan pengikat kesetiaan para raja kecil dan rakyat kepada raja pada masa itu.

Budiawan menjelaskan konflik Myanmar dapat ditilik dari adanya upaya pembentukan negara yang merujuk ke etnik/religius ketimbang modern/sekuler, seperti Indonesia. Pembentukan negara yang etnik/religius ini mengacu pada keadaan negara yang menjadikan salah satu etnis atau agama sebagai pengikat bangsa. Akibatnya, bentuk negara yang etnik/religius ini tentu menyingkirkan kelompok-kelompok etnis dan agama yang minoritas. Di Myanmar tidak hanya etnis Rohingya yang diekslusikan, tetapi juga suku Karen, Shan, dan Chin. Dengan demikian, upaya untuk menciptakan negara yang berdaulat, modern, dan inklusif seperti cita-cita Jenderal Aung Sang, ayahanda Aung San Suu Kyi, masih mengalami tantangan, terutama dari kelompok-kelompok militer dan ekstrimis pendukung negara etnik/religius.

Asal muasal konflik Rohingya bermula dari daerah Rakhine (Arakan) yang merupakan zona yang diperebutkan oleh paham Buddhisme Theravada dan raja-raja Muslim yang berkedudukan di Bangladesh bagian timur, berbatasan langsung dengan Myanmar. Dengan menelusuri pendekatan historis, orang-orang Rohingya pada awalnya didatangkan oleh imperialis Inggris sebagai tenaga kerja. Menurut Budiawan, kolonialisme Inggris turut menciptakan gesekan antar etnis antara orang Rohingya sebagai “kesayangan” Inggris dengan orang Burma.

Proses pengekslusivian itu terus berlanjut hingga Myanmar merdeka di tahun 1948. Sebagai negara yang cenderung menutup diri dari dunia internasional dan dikuasai oleh militer, Myanmar menetapkan sebuah konstitusi baru pada tahun 1974. Konstitusi tersebut mengatur bahwa kekuasaan politik militer diserahkan kepada majelis rakyat namun majelis rakyat tersebut justru masih dipimpin oleh jenderal militer. Selanjutnya pada tahun 1982, pemerintah Myanmar menetapkan UU Kewarganegaraan terbaru yang mengatur status kewarganegaraan seluruh masyarakat dan etnis yang tinggal di Myanmar. Di dalam UU tersebut, etnis Rohingya dianggap bukan sebagai warga negara Myanmar melainkan Bangladesh. Pengekslusian ini menyebabkan eksodus besar-besaran orang Rohingya ke berbagai tempat. Keadaan ini makin diperparah dengan golongna ekstrimis yang menggunakan agama untuk mewujudkan negara etnik/religius (MaBaTha) untuk merepresi etnis-etnis minoritas termasuk Rohingya di Myanmar. Diskusi berakhir dengan tanya-jawab dari para peserta yang sangat terlihat antusias dengan pemaparan yang dilakukan Budiawan. (Gharin)

Recent Posts

  • SEA CHAT #35: Reflecting The Role of Yang Di Pertuan Agong to Settle The Political Uncertainty After Malaysia 15th General Election by Muhammad Izam Dwi Sukma
  • SEA Talk #46: Dividing The Electorates: Will Indonesian Politicians Exploit Identity in 2024 Election by Made Supriatma
  • SEA CHAT #34 Dictatorship and Political Dynasty and the Role of Media on History Politicization by Muhammad Nailul Fathul Wafiq
  • SEA-Chat #33 Part 2: Cultural Diplomacy between Russia and Indonesia by Tatiana Putcniakova and The Position of Indonesia in ASEAN in the Upcoming Years by Lia Korotkova
  • SEA-Chat #33 Sesi 1: Information Technology Sector in Modern ASEAN oleh Gleb Darchenkov and The Results of the G-20 Summit for Indonesia oleh Dmitry Svechnikov

Arsip

  • Desember 2022
  • November 2022
  • Oktober 2022
  • September 2022
  • Agustus 2022
  • Juli 2022
  • Mei 2022
  • Maret 2022
  • Februari 2022
  • September 2021
  • Mei 2021
  • Desember 2020
  • Oktober 2020
  • Mei 2020
  • Maret 2020
  • Februari 2020
  • Januari 2020
  • Juli 2019
  • Juni 2019
  • Mei 2019
  • April 2019
  • Maret 2019
  • Desember 2018
  • November 2018
  • Oktober 2018
  • September 2018
  • Agustus 2018
  • Juli 2018
  • Juni 2018
  • Mei 2018
  • Maret 2018
  • Februari 2018
  • Januari 2018
  • Desember 2017
  • November 2017
  • Oktober 2017
  • September 2017
  • Agustus 2017
  • Juli 2017
  • Juni 2017
  • Mei 2017
  • April 2017
  • Februari 2017
  • Januari 2017
  • Desember 2016
  • Oktober 2016
  • September 2016
  • Agustus 2016
  • Juli 2016
  • Juni 2016
  • Mei 2016
  • April 2016
  • Maret 2016
  • Februari 2016
  • Januari 2016
  • Desember 2015

Kategori

  • Aktivitas
  • Ekonomi & Kesejahteraan Sosial
  • Esai Akademik
  • Hukum dan Hak Asasi Manusia
  • Media dan Komunikasi
  • Pendidikan
  • Politik dan Hubungan Internasional
  • riset
  • SEA Chat_ind
  • SEA Gate_ind
  • SEA Movie_ind
  • SEA Talk_ind
  • Sejarah dan Budaya
  • Uncategorized
  • workshop

Meta

  • Masuk
  • Entries RSS
  • Comments RSS
  • web instansi
Universitas Gadjah Mada

Pusat Studi Sosial Asia Tenggara
Universitas Gajah Mada

Gedung PAU, Jl. Teknika Utara
Daerah Istimewa Yogyakarta 55281
pssat@ugm.ac.id
+62 274 589658

Instagram | Twitter | FB Page | Linkedin |

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju