Setiap individu di dunia ini mempunyai hak untuk hidup damai dan merasakan kebebasan. Dua hal tersebut masih menjadi barang mahal bagi etnis Rohingya di Myanmar sana. Setelah sesi SEA Talks 17 yang membahas mengenai krisis Rohingya dari sisi sejarah dan latar belakangnya, PSSAT UGM kembali mengadakan diskusi SEA Talks 18 yang bertajuk “Rohingya: Perspektif Hukum HAM Internasional”. Diskusi kali ini mengundang Eko Riyadi, M.H. dari Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia dan Muhadi Sugiono, M.A yang juga menjadi salah satu peneliti di PSSAT UGM sebagai narasumber. Kerjasama antar kedua instansi ini merupakan wujud partisipasi aktif Pusham UII dan PSSAT UGM yang sama-sama berfokus pada kajian akademik HAM di Asia Tenggara.
Dalam sesi ini, terdapat dua masalah serius dalam krisis Rohingya yang menyebabkannya menjadi berlarut-larut yaitu isu keamanan dan kewarganegaraan. Latar belakang sejarah etnis yang kompleks ditambah lahirnya konstitusi Myanmar tahun 1982 yang mengeliminasi etnis Rohingya sebagai warga negara membuat kondisi keamanan di negara tersebut tidak stabil.
Apabila ditinjau dari segi kemanusiaan, Eko Riyadi mengungkapkan, “Rohingya menjadi salah satu etnis yang paling menderita di dunia karena mereka tidak mempunyai akses terhadap layanan pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa pelanggaran HAM sudah lama terjadi di negeri Junta Militer ini”. Ketiadaan dokumen resmi kependudukan yang sah sebagai bukti otentik status kependudukan membuat nasib warga Rohingya menjadi tidak jelas. Kondisi lain yang membuat Rohingya semakin terpojok adalah anggapan pemerintah Myanmar yang menggeneralisasi bahwa masyarakat Rohingya semua terlibat kegiatan separatis.
Di sisi lain, upaya untuk memanfaatkan banyak organisasi ataupun komite Treaty Based Mechanism sudah tidak efektif lagi dalam menanggapi masalah etnis Rohingya. Sudah banyak negara ataupun organisasi kemanusiaan yang peduli terhadap nasib etnis Rohingya namun belum bisa bertindak lebih jauh untuk memperkarakan pemerintah Myanmar. Hal tersebut disebabkan karena Myanmar tidak mengakui atau tidak meratifikasi satupun yurisdiksi komite Treaty Based Mechanism yang menjadi dasar pengusutan kasus pelanggaran HAM. Kondisi inilah yang menyulitkan bagi dunia untuk menarik Myanmar dalam peradilan internasional.
Alternatif jalan keluar yang ditawarkan oleh hukum HAM internasional
PBB melalui General Assembly maupun Security Consul (Charter Based Mechanism) bisa menindak Myanmar dengan catatan bahwa negara tersebut sudah meratifikasi nota kesepakatan. Dewan HAM PBB memiliki alternatif jalan keluar untuk menyudahi krisis rohingya. Solusi yang pertama adalah solusi damai dengan mengajak Myanmar untuk merevisi konstitusi tahun 1982 agar memasukkan etnis Rohingya sebagai warga negara yang sah. Hal tersebut memang harus diupayakan karena alasan Myanmar untuk mengeliminasi etnis Rohingya sebagai warga negaranya sangat tidak relevan dengan realitas saat ini.
Jalan keluar berikutnya adalah melalui Pengadilan Hukum Pidana Internasional yang mengadili tindak kejahatan genosida (pembasmian etnis tertentu), kejahatan kemanusiaan, dan kejahatan perang. Pengadilan Hukum Pidana Internasional di Den Hague, Belanda hanya bisa menindak pelanggaran bila peristiwanya terjadi setelah tahun 2002 karena berbasis pada Statuta Roma yang baru efektif berjalan pada tahun yang sama. Selain itu, negara yang akan ditindak juga harus sudah meratifikasi pakta integritas hukum pidana internasional.
Muhadi menambahkan bahwa membantu pengungsi tidak akan menyelesaikan krisis sepenuhnya karena akar permasalahan berasal dari kebijakan pemerintah Myanmar. Di sisi lain, sudah saatnya ASEAN bertindak mengenai kasus kejahatan kemanusiaan ini dengan cara “menegur” Myanmar, paling tidak dengan memberikan sanksi. (Gharin).