Pendidikan berfungsi sebagai instrumen yang dapat digunakan untuk memfasilitasi proses integrasi generasi yang lebih muda ke dalam sistem logika dan pengetahuan saat ini. Pendidikan juga berperan dalam membawa konformitas dan praktik kebebasan dimana individu dihadapkan pada realitas kritis dan kreatif dalam menemukan cara untuk berparitispasi dalam transformasi dunia mereka. Hal tersebut Prof. Alberto Gomes sampaikan dengan merujuk pada ide dan gagasan Virilio mengenai pedagogis kritis. Penyampaian ini merupakan salah satu penggalan dari Prof. Alberto pada seri SEA TALK ke #43 tentang bagaimana pentingnya pendidikan kritis. Prof. Alberto merupakan direktur pendiri dialogue, emphatic, engagement, and peacebuilding atau yang dikenal dengan DEEP Network dan juga selaku sebagai professor di Universitas Emiritus La Trobe, Melbourne, Australia. Dalam diskusi SEA Talk kali ini Prof. Alberto membawakan diskusi mengenai usaha emansipasi pembebasan pikiran yang terbelenggu melalui proses pendidikan kritis.
Catatan kunci Prof Alberto Gomes – “Wacana serta dinamika pengatahuan kemudian membawa pada refleksi tentang peran kita sebagai pendidik terutama dalam konteks kritis adalah untuk melihat kembali intelektual serta guru yang berasal dari institusi pengetahuan lokal dan sejarah tempat kita hidup dan kemudian menjadikannya sebagai sumber utama pengetahuan kritis kita”
Diskusi serial ini membawa bagaimana pentingnya pendidikan kritis di dalam konteks praktik di perguruan tinggi. Prof. Alberto menemukan bahwa terdapat delapan nilai utama dari proses pendidikan kritis. Pertama, pendidikan kritis berperan untuk meregenerasi institusi intelektual lokal tradisional. Kedua, pendidikan kritis beperan membuka hambatan kognitif. Ketiga, pendidikan kritis harus melihat adanya bentuk lain atau alternatif pengetahuan, diikuti pada nilai yang keempat bahwa pendidikan kritis dilakukan untuk menciptakan ruang kritis baru, pada nilai kelima pendidikan kritis menegaskan adanya proses antara teori dan praktek dalam proses berpengatahuan, dan pada nilai keenam, ketujuh dan kedelapan bahwa pendidikan kritis mempromosikan pedagogi lokal yang bersumber pada pengetahuan lokal peradaban sebelumnya yang berfokus pada pengetahuan ekologi dan pendidikan empatik.
Merujuk pada kutipan Bell, Prof. Alberto mengatakan bahwa ruang akademik bukanlah surga melainkan ruang akademik merupakan ruang tempat belajar dimana surga, tatanan ideal dan utopia itu dapat diciptakan. Ruang kelas dengan segala keterbatasannya menjadi lokasi dari proses pencarian kemungkinan-kemungkinan baru yang lebih baik untuk peradaban. Pada kemungkinan-kemungkinan tersebut kita memiliki kesempatan untuk bekerja demi kebebasan serta usaha untuk menuntut diri kita sendiri, rekan dan teman-teman kita dengan membuka pikiran dan hati yang memungkinkan kita menghadapi kenyaatan bahwa ketika kita bersama-sama kita dapat bergerak melampui batasan kita sebagai individu.
Pendidikan kemudian harus dilihat sbeagai praktik pembebasan, dengan merujuk pada kutipan Pramoedya bahwa individu yang terpelajar harus belajar untuk beradil, pertama-tama berlaku adil dengan pikirannya kemudian berlaku adil dalam perbuatannya. Demikianlah apa yang dimasukan dengan terpelajar adalah individu yang belajar untuk berbicara, mendengarkan, mengkritik dan berdialog dan yang terpenting bahwa tindakan tersebut didasarkan pada pengetahuan dan pemahaman untuk menjadikan dunia bergerak kearah yang lebih baik dimana masing-masing manusia hidup dalam damai antara satu sama lain serta selaras dengan alam.
Wacana serta dinamika pengatahuan kemudian membawa pada refleksi tentang peran kita sebagai pendidik terutama dalam konteks kritis adalah untuk melihat kembali intelektual serta guru yang berasal dari institusi pengetahuan lokal dan sejarah tempat kita hidup dan kemudian menjadikannya sebagai sumber utama pengetahuan kritis kita. Dengan hal tersebut, kita perlu memperhatikan dan memberikan pengakuan terhadap siapa yang telah mempengaruhi wacana intelektual publik kita sepanjang garis waktu sejarah.
Melalui hal tersebut maka kita harus mempertanyakan dimana saat ini intelektual kita berada, baik di ruang publik, universitas dan dunia yang telah terneoliberalisasikan ini. Sayangnya realitas tersebut masih sangat jauh dari kenyataan dunia pendidikan kita sekarang atas hal tersebut Prof. Alberto mengatakan bahwa penting untuk meningkatkan semangat untuk mendekolonisasi dan berpikir kritis terhadap cara kita berpikir dan cara kita berpengatahuan.
Diskusi serial ini membawa bagaimana pentingnya pendidikan kritis di dalam konteks praktik di perguruan tinggi. Prof. Alberto menemukan bahwa terdapat delapan nilai utama dari proses pendidikan kritis. Pertama, pendidikan kritis berperan untuk meregenerasi institusi intelektual lokal tradisional. Kedua, pendidikan kritis beperan membuka hambatan kognitif. Ketiga, pendidikan kritis harus melihat adanya bentuk lain atau alternatif pengetahuan, diikuti pada nilai yang keempat bahwa pendidikan kritis dilakukan untuk menciptakan ruang kritis baru, pada nilai kelima pendidikan kritis menegaskan adanya proses antara teori dan praktek dalam proses berpengatahuan, dan pada nilai keenam, ketujuh dan kedelapan bahwa pendidikan kritis mempromosikan pedagogi lokal yang bersumber pada pengetahuan lokal peradaban sebelumnya yang berfokus pada pengetahuan ekologi dan pendidikan empatik.
Merujuk pada kutipan Bell, Prof. Alberto mengatakan bahwa ruang akademik bukanlah surga melainkan ruang akademik merupakan ruang tempat belajar dimana surga, tatanan ideal dan utopia itu dapat diciptakan. Ruang kelas dengan segala keterbatasannya menjadi lokasi dari proses pencarian kemungkinan-kemungkinan baru yang lebih baik untuk peradaban. Pada kemungkinan-kemungkinan tersebut kita memiliki kesempatan untuk bekerja demi kebebasan serta usaha untuk menuntut diri kita sendiri, rekan dan teman-teman kita dengan membuka pikiran dan hati yang memungkinkan kita menghadapi kenyaatan bahwa ketika kita bersama-sama kita dapat bergerak melampui batasan kita sebagai individu.
Pendidikan kemudian harus dilihat sbeagai praktik pembebasan, dengan merujuk pada kutipan Pramoedya bahwa individu yang terpelajar harus belajar untuk beradil, pertama-tama berlaku adil dengan pikirannya kemudian berlaku adil dalam perbuatannya. Demikianlah apa yang dimasukan dengan terpelajar adalah individu yang belajar untuk berbicara, mendengarkan, mengkritik dan berdialog dan yang terpenting bahwa tindakan tersebut didasarkan pada pengetahuan dan pemahaman untuk menjadikan dunia bergerak kearah yang lebih baik dimana masing-masing manusia hidup dalam damai antara satu sama lain serta selaras dengan alam.
Wacana serta dinamika pengatahuan kemudian membawa pada refleksi tentang peran kita sebagai pendidik terutama dalam konteks kritis adalah untuk melihat kembali intelektual serta guru yang berasal dari institusi pengetahuan lokal dan sejarah tempat kita hidup dan kemudian menjadikannya sebagai sumber utama pengetahuan kritis kita. Dengan hal tersebut, kita perlu memperhatikan dan memberikan pengakuan terhadap siapa yang telah mempengaruhi wacana intelektual publik kita sepanjang garis waktu sejarah.
Melalui hal tersebut maka kita harus mempertanyakan dimana saat ini intelektual kita berada, baik di ruang publik, universitas dan dunia yang telah terneoliberalisasikan ini. Sayangnya realitas tersebut masih sangat jauh dari kenyataan dunia pendidikan kita sekarang atas hal tersebut Prof. Alberto mengatakan bahwa penting untuk meningkatkan semangat untuk mendekolonisasi dan berpikir kritis terhadap cara kita berpikir dan cara kita berpengatahuan.