“Di era ini, dimana penggunaan digital telah menjadi masif, akses yang mudah ke internet menjadi hal penting bagi semua orang termasuk anak-anak. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk melindungi anak-anak mereka dari pedang bermata dua internet, yang meskipun begitu banyak manfaat yang ditawarkan, juga membuat mereka terpapar pada beberapa hal yang merugikan”, kata Nobertus R. Santoso, dosen ilmu komunikasi di Universitas Atma Jaya Yogyakarta pada rangkaian webinar South East Asia Talk (SEA TALK) ke-45, yang diselenggarakan oleh Center for Southeast Asian Social Studies (CESASS), Universitas Gadjah Mada
Topik tentang “Menegosiasikan Strategi Mediasi Orang Tua dalam Penggunaan Media Digital oleh Remaja di Keluarga Muslim Jawa Perkotaan dan Pedesaan” merupakan temuan awal dari proyek PhD-nya di perguruan tinggi Komunikasi Massa, Universitas Filipina, Nobertus.
Berputar di sekitar budaya keluarga Muslim Jawa, Ia menyelidiki bagaimana orang tua menyesuaikan diri dengan normal baru penggunaan digital, mengadopsi strategi mediasi dengan prinsip memaksimalkan manfaat, dan meminimalkan risiko online. Nobertus, secara khusus memperhatikan strategi mediasi orang tua dengan mengintegrasikan tiga tingkat analisis, yaitu tingkat budaya, tingkat orang tua, dan tingkat remaja.
Dilihat dari tataran budaya, nilai-nilai Jawa dan Islam mempengaruhi sifat pengasuhan, seperti tata krama (kata bahasa Jawa untuk kesantunan) dan peran tradisional orang tua. Ia menemukan bahwa peran ayah Jawa adalah pencari nafkah keluarga yang harus melindungi remaja mereka dari bahaya penggunaan digital dan untuk memberikan pendidikan serta kebutuhan keuangan, sementara ibu Jawa, sebagai pengasuh, memiliki tanggung jawab besar untuk membantu mereka. anak-anak mengembangkan karakter mereka sambil juga melindungi nilai-nilai Islam di rumah mereka. Menariknya, banyak orang tidak menyadari bahwa peran pembatasan ini didasarkan pada konsep “status perempuan” dalam keluarga muslim Indonesia, yang oleh Julia Suryakusuma disebut sebagai “ibuisme negara/keibu”—an ideologi yang mendefinisikan perempuan sebagai embel-embel dan pendamping bagi suaminya, sebagai penerus bangsa, mengukuhkan perannya sebagai ibu dan pendidik anak, sebagai pembantu rumah tangga, dan sebagai anggota masyarakat Indonesia dalam urutan yang tepat.[1]
Pada studi tingkat kedua, tingkat orang tua, ditunjukkan bagaimana orang tua Jawa menggunakan berbagai gaya pengasuhan yang mempengaruhi pertumbuhan remaja seperti permisif, otoriter, otoritatif, dan lalai atau tidak terlibat. Penting juga untuk diketahui bahwa pola asuh dalam keluarga Muslim Jawa mengutamakan kepatuhan, keyakinan agama, kesopanan, dan oleh karena itu adalah tugas orang tua untuk mengajari anak-anak mereka bagaimana memanfaatkan platform digital secara bertanggung jawab sekaligus mengurangi dampak negatif yang menyertainya mereka.
Terakhir, melalui tingkat remaja, Nobertus mengamati bagaimana para remaja digital savvy yang kini tampak menjalani kehidupan online cenderung menyembunyikan aktivitas internet mereka dari orang tua mereka. Selain itu, platform media digital mendorong remaja untuk menghasilkan rasa harapan sosial: kebebasan, kepercayaan, otonomi, dan tanggung jawab untuk penggunaan media digital. Namun, penting juga untuk dicatat bahwa latar belakang demografis menentukan sejauh mana remaja terpapar penggunaan media digital, karena remaja perkotaan jelas memiliki lebih banyak paparan penggunaan digital dibandingkan dengan remaja yang tinggal di daerah pedesaan. Dengan demikian, karakteristik ini harus dipertimbangkan dalam meneliti strategi mediasi orang tua.
Kajian Nobertus mengisi celah di mana studi-studi sebelumnya berfokus pada peran ibu Muslim dengan sama-sama memperhatikan untuk memasukkan peran ayah Muslim dalam mengelola penggunaan internet remaja di bawah persimpangan pengaturan budaya, agama, dan geografis. Studi lapangannya dilakukan pada bulan Maret. 2021 di Yogyakarta, Indonesia.
[1] Suryakusuma, Julia I. (1996). “Negara dan Seksualitas di Indonesia Orde Baru.” Dalam Laurie Sears (ed.), Fantasi Feminin di Indonesia. Durham: Duke University Press, hal. 101.