Nasionalisme adalah hal yang tak pernah selesai. Ia harus diwariskan secara terus menerus melalui pendidikan, slogan, dan tentu saja keberadaan liyan. Dalam konteks relasi antar negara keberadaan liyan akan menjadi lebih rumit jika identitas nasional bangsa lainnya pernah bersinggungan dalam konflik terbuka. Dengan kata lain, liyan akan dianggap sebagai sosok antagonis jika sejarah menyajikan memori kolektif tentang konflik antar negara.
Di Asia Tenggara, konflik antar negara bukanlah hal baru. Konfrontasi antara Malaysia dengan Indonesia di penghujung Orde Lama adalah salah satu contohnya. Namun, sejak ASEAN didirikan 50 tahun yang lalu konflik terbuka antar negara Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN hampir tidak pernah terdengar. Hal tersebut disebabkan negara-negara yang tergabung dalam ASEAN bersepakat untuk tidak saling mengintervensi kedaulatan negara lain dalam bidang politik ataupun ideologi. Dengan kesepakatan tersebut mereka berharap bisa menciptakan perdamaian di kawasan regional Asia Tenggara.
Namun demikian memori tetaplah memori. Sejarah konflik yang terekam secara kolektif bisa membuat sentimen yang tertanam laten bisa mencuat kembali. Dalam pandangan Plato yang dikutip oleh Anne Whitehead (2009) memori penting masa lalu bisa muncul kembali jika ada pancingan dari terciptanya relasi kritis di masa sekarang. Dalam tataran praktis, kondisi tersebut bisa ditemukan dalam kemarahan pendukung Indonesia terhadap Malaysia pada perhelatan SEA Games 2017 yang membuat netizen Indonesia teringat akan sejarah konfrontasi Indonesia-Malaysia di tahun 1964. Dimulai Dari kasus bendera terbalik hingga bertemunya kesebelasan Indonesia dengan Malaysia pada semifinal cabang olah raga sepak bola pria; memori kolektif kita terhadap politik konfrontasi yang dilancarkan oleh Bung Karno kembali hidup dan termanifestasi dalam slogan-slogan ‘nasionalistik’ seperti “Ganyang Malaysia”, atau tagar yang lebih kontemporer seperti #shameonyoumalaysia. Slogan-slogan tersebut dihidupkan kembali seakan tak mempedulikan bahwa kini banyak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di negara itu.
Secara sekilas maraknya slogan-slogan bernada sumbang tersebut adalah contoh dari menguatnya nasionalisme di era digital. Tak jarang naiknya wacana-wacana tersebut di jejaring sosial diiringi dengan pesan-pesan tentang pentingnya menjaga persatuan di tengah kondisi kebangsaan kita yang semakin rapuh pasca Pilkada Jakarta. Tentu menarik untuk melihat kembali bagaimana sebuah bangsa yang di sedang dilanda konflik politik antar-golongan seperti Indonesia bisa kembali menemukan semangat nasionalisme persatuan dalam olahraga. Akan tetapi sebagai sebuah ideologi, nasionalisme memang akan kembali hidup jika dipanggil. Dalam hal ini pemanggilan dilakukan dengan medium media yang menyiarkan dan mengobarkan semangat nasionalisme melalui framing-framing dengan nuansa patriotik. Kondisi tersebut semakin didukung dengan pernyataan kekecewaan menteri olahraga Imran Nahwari terhadap persiapan Malaysia sebagai tuan rumah Sea Games dan opini sinis dari warganet Indonesia terhadap kepemimpinan wasit asal Malaysia dalam pertandingan sepak bola pria Indonesia melawan Timor Leste. Akumulasi dari presepsi negatif rakyat Indonesia terhadap kompetensi Malaysia sebagai tuan rumah Sea Games 2017 bertambah parah dengan adanya sejarah konfrontasi Indonesia-Malaysia yang tercetus dalam Dwi Komando Rakyat (Dwikora). Oleh karenanya tak mengherankan jika protes yang dilakukan oleh netizen Indonesia terhadap Malaysia bukan lagi protes yang rasional tapi emosional.
Permasalahan konflik dalam dunia olahraga yang mengikutsertakan sentimen politik bukanlah monopoli Indonesia dan Malaysia semata. Di regional ASEAN sentimen serupa pernah terjadi dalam pertandingan anatara Thailand melawan Vietnam dalam turnamen Asean Football Federation U-19 (AFF U-19) di Viantieni, Laos. Saat itu Thailand sedang dalam proses meniup Vietnam, dengan hasil akhir 6-0. Dalam perayaan tersebut, para pendukung Thailand mulai menyalakan dan melambaikan suar. Sebuah tim polisi Laos pergi ke tribun, mungkin untuk memastikan tidak ada yang terluka, namun mereka mendapat reaksi keras dari pendukung Thailand. Kekacauan pun meletus, dan tembakan senjata banyak beredar. Ketika polisi Laos mencoba memasuki kerumunan, para penggemar Thailand menciptakan semacam “dinding manusia” untuk mencegah pihak berwenang mengakses tribun mereka. Menariknya, pendukung Vietnam juga ikut “membantu” polisi Laos dengan melemparkan botol ke arah pendukung Thailand[1].
Rumitnya pertikaian antar pendukung Laos, Vietnam, dan Thailand di lapangan hijau bisa kita telusuri secara lebih luas dengan membaca buku berjudul Creating Laos: The Making of a Lao space between Indochina and Siam 1860-1945 karya Søren Ivarrson. Dalam buku tersebut, dijelaskan bahwa identitas kultural Laos tercipta dari pertarungan antara kaum ekspansionis Thailand dan Pemerintah Kolonial Prancis di Indocina. Dengan demikian identitas masyarakat Laos dibentuk seiring dengan hadirnya kenangan buruk terhadap Thailand. Di sisi lain, ideologi komunis yang menjadi tonggak nasionalisme Laos dan Vietnam dewasa ini, membuat rasa persaudaraan antara masyarakat Laos serta Vietnam menguat, apalagi Thailand sebagai lawan mereka dalam turnamen tersebut, nasionalismenya bertumpu pada feodalisme kerajaan yang berlawanan dengan asas dasar komunisme[2]. Oleh karenanya, tak mengherankan jika pendukung Vietnam terlihat aktif “membantu’’ polisi Laos dengan turut melempar botol ke arah pendukung Thailand.
Maraknya konflik terbuka yang dilakukan oleh pendukung olah raga–khususnya sepak bola–dalam pertandingan antar negara bukanlah hal yang mengejutkan. Kehadiran para pendukung ke stadion untuk meluapakan rasa nasionalisme secara langsung dan terbuka biasanya akan dibalas dengan tindakan serupa dari pendukung lawan. Dengan jumlah massa yang banyak tentu sangat sulit untuk memastikan ekpresi mereka masih dalam koridor yang “aman”. Belum lagi jika media, tokoh masyarakat, ataupun sejarah kelam di masa lalu ikut dilibatkan dalam menciptakan persepsi negatif terhadap tim lawan. Jika hal demikian terjadi, maka bisa dipastikan sentimen nasionalisme yang bercorak oposan biner akan memanaskan jalannya pertandingan. Dengan demikian sepak bola bukan lagi menjadi urusan antara pemain, wasit, ataupun FIFA; sebab seperti kata kolumnis Zen RS dalam sambutannya pada buku Sepak Bola Sejuta Tafsir: sepak bola bukanlah urusan perebutan bola semata, karena sepanjang 90 menit berlangsungnya pertandingan sepak bola terdapat begitu banyak alegori kehidupan. Jika boleh menambahkan, maka saya percaya bahwa seperti halnya kehidupan, jalannya pertandingan akan semakin rumit jika kita memiliki musuh. Oleh karenanya, tak mengherankan bila Jean-Paul Sartre berkata, “dalam sepak bola segalanya menjadi lebih rumit akibat kehadiran tim lawan”
Referensi:
Ivarrson, Søren. 2008. Creating Laos: The Making of a Lao Space between Indochina and Siam 1860-1945. Copenhagen: NIAS Press
Kennedy, S Edward. 2014. Sepak Bola Sejuta Tafsir. Yogyakarta: Indie Book Corner
Sartre, Jean-Paul. 2004. Critique of Dialectical Reason, translated by Alan Sheridan-Smith. London: Verso
Whitehead, Anne. 2009. Memory. New York: Routledge
https://www.youtube.com/watch?v=aXPlleyUGLI diaksea pada 15 September 2017 pukul 2.14
https://www.youtube.com/watch?v=aXPlleyUGLI diaksea pada 15 September 2017 pukul 2.14
[1] Anda bisa melihat video kerusuhan dalam laman berikut https://www.youtube.com/watch?v=aXPlleyUGLI diaksea pada 15 September 2017 pukul 2.14
[2] Guna penjelasan lebih lanjut sila baca http://www.newmandala.org/soccer-wars-in-southeast-asia/ diakses pada 15 September 2017 pukul 1.09
—
Artikel yang ditulis oleh Venda Pratama, mahasiswa Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, UGM, saat magang di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT).