Saat ini Kota Semarang telah memasuki bonus demografi, yakni fenomena melimpahnya jumlah penduduk usia produktif secara signifikan. Agar tidak berubah menjadi bencana demografi, maka pengelolaan dan pemanfaaatan bonus demografi harus segera dilakukan, khususnya dalam pelibatan pemuda-pemudi di berbagai kegiatan, termasuk pelibatannya dalam merespon persoalan banjir rob di Jalur Pantura Kota Semarang yang hingga kini belum tuntas penyelesaiannya. Pelibatan mereka sangat penting karena posisi mereka relatif bebas dari kepentingan politik sehingga dapat melakukan berbagai hal yang smart dan inovatif dalam menyajikan maupun mengkomunikasikan langkah strategis yang akan ditempuh untuk membantu menyelesaikan persoalan banjir rob.
Media merekonstruksi dan memediasi memori kolektif (Haskin, 2007; Sturken, 2008; Hoskins, 2014). Media baru memungkinkan terjadinya archiving, distributing, exhibiting, retrieving (Van House & Churchill, 2008), maupun menjadi arena kontestasi memori (Bindas, 2010) melalui deconstructing dan reconstructing terkait ingatan kolektif tentang 1965/66. Pengguna utama media baru seperti media sosial Youtube, Twitter dan Instagram di Indonesia adalah kelompok milenial yang relatif terputus dari ideologisasi rezim dan relatif bebas dari propaganda formal Orba tentang 1965.
Pernikahan anak didefinisikan sebagai pernikahan yang dilakukan oleh anak di bawah usia 18 tahun dengan terpaksa, dipaksa, atau atas kemauan sendiri. Dalam praktek ini, anak perempuan menjadi korban yang paling dirugikan karena berhubungan dengan tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) dan terhalangnya potensi mereka untuk mengembangkan diri. Salah satu bentuk pencegahan pernikahan anak yang paling dasar adalah penerapan pemahaman kesehatan reproduksi, khususnya bagi remaja. Sayangnya, hal ini belum maksimal dilakukan karena tantangan agama dan sosial-budaya. Dengan demikian, penelitian-penelitian tentang perlunya penguatan kesehatan reproduksi mendesak dilakukan terkait upaya penyelamatan generasi muda dan kesetaran gender sesuai dengan Sustainable Development Goals (SDGs) 2015-2030.
Penelitian oleh Dr. Budi Irawanto, Dr. Novi Kurnia, dan Theresia Octastefani, M.AP dari Program Hibah Penelitian Dasar Unggulan Perguruan Tinggi – PDUPT tahun 2018-2020 ini bertujuan mengkaji pertautan antara film dokumenter dan perubahan sosial di Indonesia. Sejak bergulirnya proses demokratisasi (Reformasi) sejak 1998, film dokumenter mengalami pertumbuhan yang layak dicatat dan produksinya kian tersebar ke sejumlah wilayah di Indonesia. Berbeda dengan film fiksi, film dokumenter bersandar pada faktualitas dan melakukuan klaim kebenaran atas realitas yang diangkatnya. Lebih dari sekadar sekadar merepresentasikan beragam masalah sosial, film dokumenter memiliki kekuatan membuka wawasan, membangkitkan kesadaran dan membentuk sikap tertentu. Tak mengherankan, film dokumenter mampu mempersuasi penonton, menciptakan pemaknaan yang berlapis, memberikan pengalaman yang kaya dan melahirkan kesadaran baru terhadap pelbagai persoalan (isu) sosial, politik, kultural atau ekologi yang direpresentasikannya.
Sengketa perbatasan merupakan salah satu masalah yang paling menantang dalam normalisasi hubungan antara Indonesia dan Timor Leste. Dua perbatasan darat memisahkan kedua negara: 150 km di bagian timur dan 120 km di bagian barat (Oecusse, kantong Timor Leste di provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia). Sementara bagian timur perbatasan telah berhasil dinegosiasikan, bagian barat perbatasan masih diperdebatkan hingga saat ini. Negosiasi perbatasan yang tidak pasti berlanjut hingga hari ini tanpa kemajuan yang signifikan. Ada perbedaan interpretasi antara negosiator Indonesia dan Timor Leste.
Penelitian ini oleh Dr.phil. Hermin Indah Wahyuni, Theresia Octastefani, M.AP., M.Pol.Sc, Muhammad Rum, IMAS, dan Prof. David Robie dari Program Hibah Kolaboratif Internasional Fakultas ISIPOL UGM pada tahun 2018 dimaksudkan untuk menganalisis komunikasi dan politik bencana di Indonesia melalui pemeriksaan tanggapan berlapis-lapis terhadap dua bencana maritim: banjir pasang surut di Semarang dan ancaman tsunami di Aceh. Meskipun bencana maritim ini memiliki karakteristik berbeda, keduanya merusak. Walaupun banjir pasang surut di Semarang merupakan bencana yang lambat, tsunami di Aceh tiba-tiba datang. Banjir pasang-surut telah terjadi di sepanjang pantai utara Jawa selama beberapa dekade, tetapi belum bisa dimitigasi; pada kenyataannya, itu hanya berkembang dan menyebabkan lebih banyak kerusakan. Sementara itu, tsunami 2004 di Aceh adalah bencana maritim terbesar yang pernah dialami di Indonesia, menewaskan ratusan ribu, menyebabkan kehancuran besar-besaran, dan menciptakan sejumlah masalah sosial yang masih ada hingga hari ini. Visi utama pemerintah Joko Widodo (Jokowi) untuk menegaskan kembali status Indonesia sebagai negara maritim yang kuat tidak dapat direalisasikan secara optimal, dan bahkan dapat dihambat, jika bencana ini tidak dapat diatasi.
Pada hari Selasa (9/10/18), Eva Rapoport dari College of Religious Studies of Mahidol University hadir di Perpustakaan PSSAT UGM untuk memberikan materi tentang What Can Be Learned from Jathilan? An Outsider’s Perspective on A Popular Folk Dance dalam SEA Talk #24.
Pada hari Jumat (21/9/18), Dr. Alfi Rahman dari Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh hadir di Perpustakaan PSSAT UGM untuk memberikan materi tentang Communicating Disaster Risk in Enhancing Community Resilience: Lesson Learned from Simeulue Island, Aceh dalam SEA Talk #23 .
Dalam presentasinya, Dr. Alfi memparkan bahwa di Pulau Simeulue, Aceh, penduduk memiliki tindakan preventif sendiri untuk mencegah terjadinya tsunami yang berdasarkan pada kearifan lokal mereka. Local wisdom tersebut berupa nyanyian yang dalam liriknya memuat pencegahan terjadinya tsunami. Terbukti, pada Peristiwa Tsunami Aceh 26 Desember 2004 silam, hanya sedikit sekali penduduk di Pulau Simeulue, Aceh yang menjadi korbannya, padahal daerah mereka termasuk daerah yang terkena dampak.
Pada hari Rabu (8/8/18), Professor Hak-Soo Kim dari Faculty of the School of Communication of Sogang University di Seoul, Korea Selatan hadir di Perpustakaan PSSAT UGM untuk memberikan materi tentang Community & Communication: A New Perspective dalam SEA Talk #22.
Krisis di Negara Bagian Rakhine sudah ada sejak lama. Sejak 1962, selama rezim militer, kekerasan atas nama etnis dan agama telah terjadi dan menyebabkan tragedi yang menyedihkan di Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Sekitar 2.000 orang telah terbunuh dan lebih dari 140.000, kira-kira, menjadi tunawisma. Karena itu, pemerintah Myanmar telah melanggar Hak Asasi Manusia terhadap Rohingya. (Lembaga Hak Asasi Manusia)
Baru-baru ini, menurut Badan Pengungsi PBB, lebih dari 650.000 pengungsi Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh sejak akhir Agustus tahun 2017 untuk menghindari kekerasan dan penganiayaan di Myanmar. Sebelumnya, Misi Pencari Fakta PBB menunjukkan bahwa sekitar 1,3 juta orang telah pindah ke perbatasan Bangladesh. Pengungsi Rohingya yang lain sedang mencoba untuk pindah ke negara lain seperti Thailand, Malaysia, dan Indonesia. (PBB, 2018)