Setiap individu di dunia ini mempunyai hak untuk hidup damai dan merasakan kebebasan. Dua hal tersebut masih menjadi barang mahal bagi etnis Rohingya di Myanmar sana. Setelah sesi SEA Talks 17 yang membahas mengenai krisis Rohingya dari sisi sejarah dan latar belakangnya, PSSAT UGM kembali mengadakan diskusi SEA Talks 18 yang bertajuk “Rohingya: Perspektif Hukum HAM Internasional”. Diskusi kali ini mengundang Eko Riyadi, M.H. dari Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia dan Muhadi Sugiono, M.A yang juga menjadi salah satu peneliti di PSSAT UGM sebagai narasumber. Kerjasama antar kedua instansi ini merupakan wujud partisipasi aktif Pusham UII dan PSSAT UGM yang sama-sama berfokus pada kajian akademik HAM di Asia Tenggara.
“Sebagai kawasan dengan teritori yang luas, relasi antar daerah pinggiran dan pusat kekuasaan di ASEAN sering diwarnai dengan berbagai stereotip negatif akibat adanya perbedayaan kebudayaan. Herannya di tengah stereotip negatif yang berkembang, daerah terluar atau sering disebut sebagai frontier masih terus menerus dibangun tanpa henti demi berbagai harapan di masa depan yang sayangnya kerap menimbulkan permasalahan sosial dan lingkungan”
Istilah frontier di jagad ilmu sosial awalnya digunakan oleh Jackson Turner untuk menjelaskan mentalitas Amerika. Istilah tersebut digunakan untuk menjelaskan kebiasaan masyarakat koloni Amerika Serikat dalam menjelajah dan membangun peradaban di wilayah terluar yang ditemukan di benua baru. Kebiasaan itu muncul disebabkan adanya pandangan bahwa wilayah terluar merupakan daerah yang penuh dengan sumber daya namun masih terbelakang. Oleh karenanya daerah tersebut perlu dieksploitasi secara berkelanjutan guna dimajukan sehingga bisa menghasilkan keuntungan bagi manusia.
Myanmar adalah sebuah negara Indo-China yang dahulu dikenal dengan nama Burma telah mengalami gejolak perang saudara yang sangat lama. Sejak kemerdekaannya pada tahun 1948, Myanmar kerap menghadapi konflik antar etnis yang membuatnya dikecam negara lain. Aung San Suu Kyi, negarawan yang meraih nobel perdamaian tahun 1991 pun dianggap tidak serius dalam menangani konflik berkepanjangan di negaranya.
Menyingkapi konflik Rohingya yang saat ini menjadi perhatian dunia, tak terkecual di Indonesia, SEA Talks #17 kali ini mengundang Dr. Budiawan yang merupakan pengajar di Prodi Kajian Budaya dan Media, Sekolah Pascasarjana UGM sebagai pembicara. Topik yang disajikan adalah “Krisis Rohingya dan Problema Nasionalisme-Religius” yang dimulai dengan pelacakan historis keberadaan orang Rohingya sampai asumsi yang menggerakkan kejahatan genosida terhadap etnis Rohingya dan etnis minoritas lain di Myanmar. Diskusi ini dibuka dengan pemaparan opini dari beberapa tokoh dan lembaga Indonesia yang menegaskan bahwa krisis Rohingya bukan hanya merupakan konflik agama melainkan multidimensi. Mengutip pernyataan dari Dr. Budiawan, “Krisis Rohingya memang bukan konflik agama dalam arti sebagai konflik apalagi semata-mata karena perbedaan agama, akan tetapi Krisis Rohingya tidak bisa dilepaskan dari persoalan perbedaan agama dan etnis antara etnis Burma (Buddha) dan etnis Rohingya (Muslim).”
Perubahan iklim merupakan bencana yang tak sepenuhnya datang dari alam. Manusia juga turut berkontribusi mempercepat keadaan ini dengan perilaku yang tak ramah dengan lingkungan, antara lain menebang pohon, pemborosan air, hingga penggunaan sampah plastik dalam jumlah besar. Indonesia menyumbang 9 juta ton/tahun sampah plastik yang dari jumlah tersebut, 3,6 juta ton sampah berakhir di laut. Keadaan ini membuat Indonesia menjadi negara yang menyumbang sampah plastik terbesar di Asia Tenggara.
Menyingkapi persoalan ekologi yang menanti manusia, Prof. Judith Schlehe (Freiburg University, Jerman) dan tim peneliti dari Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) Universitas Gadjah Mada melakukan penelitian yang menyoroti sampah sebagai bencana lingkungan yang diciptakan manusia. Bersama Dr.phil.Vissia Ita Yulianto, salah satu peneliti PSSAT UGM, Prof. Judith Schlehe memaparkan hasil penelitian mereka di kota Yogyakarta, Bantul, Gunungkidul, dan sepanjang pantai di Laut Selatan Jawa. Penelitian ini menjadi bagian dari penelitian Komunikasi Ekologi dalam Penanggulangan Bencana Maritim di Asia Tenggara dalam program World Class Profesor (WCP).
Rasa bahagia terpancar dari wajah Khoo Yi Feng saat berkunjung ke kantor Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) Universitas Gadjah Mada (20/9). Alumni National University of Singapore (NUS) ini serasa kembali ke “rumah” setelah ia mengikuti program SEA Gate yang diselenggarakan oleh PSSAT di tahun 2015. Pada SEA-Chat kali ini, PSSAT mengundang Yi Feng untuk berbagi dengan para mahasiswa yang ingin mengetahui tentang Singapura dengan tema “Apa Kabar Singapura?”. Yi Feng sendiri adalah pengagas program SEA-Chat maka tak heran jika ia sangat senang mengetahui program yang diinisiasinya masih berlanjut.
Menurut data dari laporan tahunan Reporters Without Borders[1] tentang peringkat kebebasan pers di dunia, untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia menempati peringkat teratas, yaitu ke-124, diikuti oleh Filipina di posisi ke-127. Peringkat berikutnya ditempati oleh Myanmar yang sebelumnya diperintah kalangan militer namun sekarang dipimpin oleh bekas partai oposisi, berada di peringkat 131. Selanjutnya adalah Kamboja, yang dikuasai oleh Perdana Menteri Hun Sen, masuk di urutan 132. Thailand berada di peringkat 142, diikuti Malaysia pada urutan ke-144, Singapura pada posisi ke-151, dan Brunei di posisi ke-156. Dua negara Asia Tenggara di posisi terbawah adalah Laos (170) dan Vietnam (175) diklasifikasikan sebagai titik hitam media.
Pembahasan perihal aksi unjuk rasa 411 dan 212 di Indonesia memang tidak pernah ada habisnya. Baik pihak yang pro maupun kontra terus bermunculan. Dengan berpegang teguh pada argumen dan paham masing-masing, mereka terus memperbanyak massa dan pengikut. Dalam SEA-Talks #16 yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) UGM pada (30/8) silam, aksi 212 dikupas oleh pembicara Dr.Abdul Gaffar Karim, dosen jurusan Politik dan Pemerintahan, Fisipol, UGM dalam diskusi bertema “Radikalisme Dan Unattended Communities”.
Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) Universitas Gadjah Mada berhasil menggelar program SEA Chat di Perpustakaan PSSAT (28/8) lalu. Menariknya, acara kali ini secara khusus diikuti oleh siswa-siswi dan guru SMP Tumbuh, Yogyakarta. SMP Tumbuh merupakan sekolah menegah pertama yang terkenal karena mengusung inklusivitas dalam proses pembelajarannya. SMP yang inklusif dimaksudkan untuk menerima segala macam keberagaman mulai dari agama, kepercayaan, etnis, latar belakang ekonomi, hingga kemampuan mental.
Masalah prostitusi memang tidak ada habisnya. Di samping banyak pihak yang menolak, tetap ada segelintir pihak yang mendukung. Walaupun dianggap immoral oleh orang kebanyakan orang, namun industri seks masih bertahan sampai sekarang di seluruh dunia. Seberapa gencar pun pemerintah menyatakan illegal, tidak semudah itu prostitusi hilang dari suatu negara karena selalu ada yang membutuhkan. Di Asia Tenggara, Thailand terkenal dengan pariwisata seksnya. Boonchutima (2009) menyatakan bahwa pemerintah negara Gajah Putih tersebut sudah berusaha mengubah image dengan mempromosikan pariwisata lain seperti pariwisata budaya. Namun sayangnya, image Thailand yang kental akan pariwisata seksnya masih belum berubah.
Di masa sekarang, para akademisi di tanah air menghadapi tantangan untuk menulis dan mempublikasikan penelitian mereka ke dalam bentuk jurnal ilmiah berskala nasional terlebih lagi internasional. Atas pertimbangan tersebut, Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) Universitas Gadjah Mada menggelar pelatihan bertajuk “Workshop Academic Writing and Publication for Social Sciences” yang dilaksanakan pada 16 Agustus 2017 di Gedung Auditorium Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada. Pelatihan ini juga dapat terealisasi berkat kerjasama dengan Badan Penerbit dan Publikasi (BPP) Universitas Gadjah Mada. Kegiatan ini merupakan rangkaian dari program World Class Professor (WCP) yang diinisiasi oleh Kemeristek Dikti. PSSAT UGM menjadi anggota konsorsium WCP bersama Pusat Kajian Mitigasi Bencana dan Rehabilitasi Pesisir (PKMBRP) Universitas Diponegoro, serta Pusat Studi Tsunami dan Mitigasi Bencana Universitas Syiah Kuala. Masing-masing anggota konsorsium dapat melaksanakan program-program yang inovatif untuk produksi pengetahuan.