Bagi Asia Tenggara, regionalisme bukanlah suatu hal yang asing. Ada berbagai bentuk regionalisme di Asia Tenggara yang telah terbentuk, diantaranya adalah Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), South East Asia Treaty Organization (SEATO), Association for Southeast Asia (ASA), MAPHILINDO, dan Asian and Pacific Council (ASPAC). Wong (1979) berpendapat sulitnya membentuk kesatuan regional di Asia Tenggara disebabkan oleh masih tingginya nasionalisme, kurangnya kepercayaan dan identitas regional, konflik teritorial, dan perbedaan persepsi politik antar negara. Pada masa itu, kesatuan regional yang solid di kawasan ini cukup sulit untuk dijalankan sampai akhirnya terbentuklah ASEAN.
Banyak orang keliru dalam mempresepsikan Asia Tenggara dan ASEAN. Sebagian diantaranya mengira bahwa Asia Tenggara merupakan ASEAN, atau sebaliknya. Lalu apa itu “Asia Tenggara” dan “ASEAN”?, dan Bagaimana asal mula munculnya “Asia Tenggara” sebagai “kajian” atau “area studies”?.
Menurut Dr. Agus Suwignyo, Asia Tenggara sebagai sebuah kawasan dirasa belum terlalu dikenal. Indikator yang juga menjadi perhatian beliau adalah saat masyarakat Eropa seringkali menyebut orang – orang Asia Tenggara yang berasal dari negara berbeda di identifikasikan sebagai satu kelompok yang sama. Dr. Agus Suwignyo menjelaskan bahwa sebenarnya status Asia Tenggara dapat dilihat dari tiga aspek yaitu sebagai “konsep” politik dan pertahanan, realitas historis dan area studi.
Sebagai sebuah kawasan yang menjadi bagian dari benua Asia, negara-negara di Asia Tenggara memiliki ciri iklim tropis dengan gugusan kepulauan yang mempesona dan sinar matahari sepanjang tahun. Bentang alam mulai dari pegunungan, laut hingga pantai dengan pasir putih dan air berwarna hijau tosca hampir dapat dijumpai diseluruh kawasan ini. Tak sampai disitu saja, kawasan asia tenggara memiliki kekayaan budaya yang secara tangible maupun intangible. Hal ini ditandai dengan adanya 17 warisan budaya yang telah tercatat dalam Daftar Warisan Dunia UNESCO. Setidaknya ini dapat menjadi daya tarik bagi wisatawan di seluruh dunia. Hal tersebut dibuktikan dengan jumlah kedatangan internasional yang cukup signifikan. Data yang dihimpun oleh Pasific Asia Travel Association (PATA) pada tahun 2015 tercatat lebih dari 115 juta kedatangan internasional pada tahun 2015 yang diperkirakan akan mencapai angka 173 juta pada tahun 2018 dengan total pertumbuhan 2% setiap tahunnya. Thailand masuk dalam peringkat kedua dalam kategori Top Five Fastest Growth Destinations 2014 – 2018 dengan jumlah kedatangan internasional tertinggi yaitu 36 juta, di susul Malaysia 27,7 juta, Singapura 16,7 juta, sedangkan Indonesia, Kamboja, Filipina, Laos, Myanmar, Brunei Darussalam dan Vietnam masih berada pada angka dibawah 10 juta kedatangan pada tahun 2015.
Sejak tahun 1970-an terhitung terdapat ratusan ribu muslim Rohingya yang kabur dari Myanmar, dengan sebagian besar menggunakan jalur laut untuk mencapai negara-negara tetangga seperti Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Namun jumlah pengungsi yang terhitung besar tersebut juga tidak dapat disambut dengan mudah oleh negara-negara yang dituju, karena kekhawatiran atas tidak terkontrolnya arus pengungsi yang masuk. Indonesia merupakan salah satu dari sedikit negara yang dapat berkomunikasi langsung dengan Myanmar mengenai eskalasi konflik yang terjadi. Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi mengatakan “Once again I conveyed Indonesia’s concerns to State Counsellor Daw Aung San Suu Kyi regarding the situation in Rakhine state,” setelah diundang oleh Suu Kyi dalam acara makan malam dirumahnya sekaligus membahas secara terbuka situasi yang terjadi di Rakhine.[1] Selain Indonesia, Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak memimpin sebuah demonstrasi pada tanggal 4 Desember 2016 mengenai apa yang dia sebut sebagai sebuah “genosida” dari umat minoritas muslim Rohingya di Myanmar. Najib Razak juga mengajak negara-negara tetangga dan dunia internasional untuk maju dalam menekan kekerasan yang terjadi.[2]
Pengaruh modernisasi dan banyaknya konflik agraria yang berdampak pada masyarakat adat menyebabkan banyak desa-desa di Indonesia melakukan kegiatan berbasis masyarakat, tak terkecuali di Mollo, Nusa Tenggara Timur. Pada tanggal 20-23 September 2017, Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) Universitas Gadjah Mada berkesempatan menerima tamu dari perwakilan enam desa yang tergabung dalam Apanola Atolan Pah Mollo (AAPM) atau Pelestari Adat Mollo, yakni desa-desa Ajaobaki, Fatukoto, Fatumnasi, Lelobatan, Nefokoko dan Tune yang melakukan studi banding ke Yogyakarta, antara lain Nglanggeran, di Kabupaten Gunung Kidul, Dlingo di Kabupaten Bantul serta Pulesari di Kabupaten Sleman.
Laut Cina Selatan (LCS) merupakan sebuah wilayah perairan yang memanjang dari Barat Daya ke arah Timur Laut, berbatasan di sebelah selatan dengan 3 derajat lintang selatan antara Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan (Selat Karimata) dan sebelah Utara dibatasai oleh Selat Taiwan dari ujung utara ke arah pantai Fukein, Cina. Luas perairan LCS sendiri diperkirakan mencapai 4 juta kilometer persegi dengan empat sub kepulauan besar yakni Paracel, Spratly, Pratas dan Macclesfield (Asnani Usman dan Rizal Sukma, 1997). LCS yang diduga memiliki potensi besar baik di bidang biota laut, pariwisata, perikanan, minyak, gas alam dan bahkan navigasi membuat banyak negara berusaha secara kuat untuk mendapatkan legalitas atas LCS.
Tidak bisa dipungkiri Film-film Asia Tenggara memiliki posisi tersendiri dan telah mendapat sorotan dunia melalui berbagai bentuk apresiasi. Film-film seperti “Kinatay” karya Briliante Mendoza dari Filipina memenangkan kategori best director pada festival de Cannes pada tahun 2009. Pada tahun 2010, ada film berjudul “Uncle Boonmee” dari Thailand besutan sutradara Apichatpong Weerasethakul yang menyabet gelar Palme d’Or pada ajang yang sama. Terakhir tahun 2016, penghargaan yang sama menjadi milik sineas Indonesia. Karya dari Wregas Bhanuteja berjudul “Prenjak” menjadi film terbaik pada gelaran festival film paling bergengsi tersebut. Fakta diatas menjadi bukti keberhasilan sinema Asia Tenggara dalam mengambil posisi di dalam peta perfilman dunia.
Kawasan Asia Tenggara menjadi sorotan dunia ketika pada akhir tahun 2015 kawasan ini secara resmi memberlakukan komunitas ekonomi ASEAN yang merupakan satu bagian dari tiga pilar ASEAN Community. Namun untuk masyarakat internasional, kawasan Asia Tenggara ini merupakan kawasan yang cukup jarang didalami pengetahuannya, sehingga muncul sebuah pertanyaan mengenai apa yang dimaksud dengan Asia Tenggara? Apakah Asia Tenggara hanya merupakan sebuah kawasan yang terdiri dari negara-negara yang memiliki kekayaan budaya, pemakan nasi, penyuka alat elektronik, dan mengutamakan nilai-nilai kekeluargaan?
Sea Movie berkerjasama dengan Minikino menyelenggarakan pemutaran dengan tajuk Indonesia Raja: Yogyakarta. Indonesia Raja sendiri merupakan program Minikono dalam bentuk kolaborasi antar wilayah/kota di Indonesia yang dilakukan berkala, 1 (satu) kali setiap tahun dalam bentuk pertukaran program film pendek.Tahun ini ada beberapa pembuat film dari beberapa kota yang berpartisipasi dalam kegiatan ini dan salah satunya adalah Yogyakarta.
Pemutaran (16/08/2016)menampilkan kompilasi empat film pendek. Semalam Anak Kita Pulang (Adi Marsono/2015), film berdurasi 12 menit dan 41 detik menjadi film pertama dari rangkain film Indonesia Raja. Adi memotret realitas kehidupan di pedasaan yang saat ini tidak lagi menarik bagi generasi muda pencari kerja. Lewat ibu yang merindukan anaknya, film ini menunjukan keresahan seorang ibu yang tak dapat berjumpa dengan anaknya, bahkan anaknya satu persatu pergi ke tempat lain (kota) untuk mengadu nasib. Nilep (Wahyu Agung Prasetyo/2015), mencoba bermain dengan “baik” dan “buruk” lewat perspektif anak-anak yang malah mengarahkan kepada pengertian bahwa, mungkin, saat ini kedua persepsi tersebut masih kekanak-kanakan pada konteks masyarakat Indonesia. Sasi Takon (Wawan Sumarmo/2015), film pendek yang bercerita tentang dampak dari ketabuhan yang dilanggar dan menimbulkan keresahan yang muncul dari pertanyaan seorang anak kepada ibunya. Film ini merekam kondisi pergaulan masyarakat lewat sisi yang berbeda. Film keempat, Bawang Kembar (Gangsar/2015) merupakan film animasi dengan durasi 18 menit. Hal yang menarik dari film ini ialah menggunakan tokoh mitologi Jawa dan juga nilai moral dan kebaikan yang datang dari bahkan tokoh yang dianggap jahat sekalipun.
Negara-negara Asia Tenggara memiliki peraturan hukuman mati sendiri, sebenarnya mereka semua memilikinya sampai Filipina dan Brunei menghapus hukuman mati mereka. Sebagian besar negara-negara Asia Tenggara memiliki kejahatan yang dapat dihukum dengan modal yang sama seperti; penyelundupan narkoba, kepemilikan narkoba jika dianggap sebagai kejahatan terorganisir atau melebihi batas kuantitas, terorisme, pembunuhan, pengkhianatan, spionase, kejahatan perang, melawan kemanusiaan, dan juga genosida. Namun, setiap daerah memiliki perbedaan dalam peraturan tersebut.