Media merekonstruksi dan memediasi memori kolektif (Haskin, 2007; Sturken, 2008; Hoskins, 2014). Media baru memungkinkan terjadinya archiving, distributing, exhibiting, retrieving (Van House & Churchill, 2008), maupun menjadi arena kontestasi memori (Bindas, 2010) melalui deconstructing dan reconstructing terkait ingatan kolektif tentang 1965/66. Pengguna utama media baru seperti media sosial Youtube, Twitter dan Instagram di Indonesia adalah kelompok milenial yang relatif terputus dari ideologisasi rezim dan relatif bebas dari propaganda formal Orba tentang 1965.
Ada tiga jenis riset tentang memori kolektif di media digital. Pertama, banyak mengambil fokus pada peristiwa-peristiwa yang terjadi pada saat teknologi digital telah meluas di masyarakat dan menggambarkan bagaimana warganet menggunakan media digital untuk mengarsip, berbagai dan mengingat (Hess, 2007; Arthur, 2011; Allen & Bryan, 2011). Kedua, banyak riset memotret peristiwa terkini tentang penggunaan media digital untuk merekonstruksi atau mengingat sebuah peristiwa silam (komemorasi) atau tokoh yang telah tiada (memorialising) sebelum teknologi digital mengemuka (Recuber, 2012, Blackburn, 2013, Kalkina, 2013, Marschall, 2013, Döveling, Harju & Shavit , 2015). Ketiga, peristiwa silam yang diangkat sudah dianggap sebagai sebuah trauma seperti Holocaust (Menyhért , 2011) bahkan telah menjadi memori kosmopolit ekstrateritorial (Levy & Sznaider, 2002).
Berbeda dari ketiga jenis riset yang sudah ada di atas, riset ini mengangkat peristiwa silam, jauh sebelum teknologi digital hadir, dan masih belum ‘terselesaikan’ yaitu peristiwa 1965/66. Peristiwa tersebut diam-diam menjadi trauma publik sekaligus sejak Reformasi 1998 mengalami interpretasi terbuka. Karena peristiwa 1965/66 ‘belum tuntas’ dan tidak ada ‘rekonstruksi resmi’ dari negara, peristiwa itu dikenang dalam beragam bentuk memori digital di ranah publik dan tersebar.
Riset yang sudah ada memandang memori hegemonik dan tandingan terkandung inheren –secara berurutan– di media mainstream dan media online (Birkner & Donk, 2018). Sementara, riset ini memandang bahwa baik di media mainstream maupun media online, memori hegemonik maupun tandingan dapat terjadi (Möckel-Rieke, 1998) dan konten ingatan kolektif pada media mainstream maupun media baru belum tentu sebagai sesuatu yang dapat dipertandingkan (Gehl, 2009).
Pertayaan riset ini adalah bagaimana pertarungan narasi peristiwa 65/66 dalam media baru di kelompok milenial era demokrasi? Masih kuatkah narasi master tentang peristiwa 65/66? Bagaimana narasi tandingan tentang peristiwa 65/66 di media baru (Youtube, Instagram, Twitter)?
Penelitian oleh Dr. Hakimul Ikhwan, Gilang Desti Parahita, MA, and Dr. phil. Vissia Ita Yulianto dari Program Hibah Kolaboratif Lintas Fakultas ISIPOL UGM tahun 2018 ini mencermati dua hal yaitu: konten memori digital: 1965/66 sebagai sebuah memori yang muncul sebagai fokus maupun konteks pada sebuah narasi atau wacana pada sejumlah media sosial, dan siapa (menggunakan konsep Wulf Kansteiner (2002) tentang pembentukan memori kolektif) yang memproduksi konten memori digital.