Pada hari Selasa (26/10), the Center for Southeast Asian Social Studies Universitas Gadjah Mada (CESASS UGM) telah melanjutkan kegiatan Southeast Asian Chat (SEA Chat), sebuah diskusi yang membicarakan isu sosial yang terjadi di Asia Tenggara. Untuk pembicaranya, SEA Chat ke-32 ini menghadirkan Lyska Coyoga, seorang mahasiswa magang dari Universitas Negeri Yogyakarta, jurusan pendidikan geografi. Coyoga menyajikan penelitiannya yang berjudul “Migrasi Rohingya dari Myanmar ke Aceh: Isu dan Perkembangan Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen, Aceh.”
Coyoga memulai presentasinya dengan bertanya mengapa warga Rohingya memilih mengungsi ke Aceh. Dua audiens menjawab diantaranya karena Aceh terkenal sebagai “Serambi Mekah” dan yang lainnya merespons dengan mengaitkan letak geografis yang relatif terjangkau bila menggunakan perahu atau kendaraan lain yang tidak banyak pilihannya.
Sebelum menjawab pertanyaan sebelumnya, Coyoga menjelaskan kepada audiens siapa itu warga Rohingya, yang ia jelaskan sebagai kelompok etnis yang mendiami negara bagian Rakhine, Myanmar dekat Bangladesh sejak abad ke-7 dan selanjutnya dikenal sebagai Rohingya pada abad ke-18 setelah seorang peneliti asal Britania Raya menamai mereka demikian. Setelah kudeta militer pada 1962, Operasi King Dragon (Operasi Nagamin) diadakan dan berimplikasi pada mengungsinya masyarakat Rohingya ke luar Myanmar dan setelahnya mereka dikenali sebagai etnis Bengali pada sensus 2014 di Myanmar. Singkatnya, terdapat penolakan atas keberadaan masyarakat Rohingya di Myanmar secara struktural.
Sejak 2009-2022, Coyoga menjelaskan bahawa sekitar 1.800 orang Rohingya telah sampai di Aceh yang masuk kesana melalui bagian utara provinsi tersebut untuk mencari tempat. Ada suatu waktu ketika masyarakat lokal khawatir dengan masyarakat Rohingya karena para pengungsi memilih untuk melarikan diri dari tempat penampungan and menempati beberapa fasilitas publik seperti musala sebelum akhirnya direlokasi ke tempat yang lebih layak.
Saat itu juga ada kekhawatiran dari masyarakat lokal yang memiliki kecemburuan sosial dengan kehadiran bantuan untuk para pengungsi. Pada akhirnya, Coyoga juga menjelaskan bahwa pada masa yang akan datang, masyarakat Aceh sepertinya akan tetap menerima keberadaan para pengungsi karena mereka percaya keadaan sulit bisa menimpa siapa saja sehingga penting untuk menjaga solidaritas kepada yang sedang kesulitan. Selain itu, ada juga kebiasaan budaya lokal bernama Peumulia Jamee yang berarti menjamu tamu atau orang lain dengan baik.
Sebelum kegiatan obrolan berakhir, ada kegiatan tanya jawab yang memunculkan banyak bahasan menarik seperti bagaimana pemerintah Indonesia dan pemerintah Provinsi Aceh menangani kenaikan jumlah para pengungsi begitu juga dengan status Indonesia sebagai negara pihak ketiga terkait isu pengungsi. Ada juga catatan mengenai pengembangan riset terkait peran kebiasaan lokal Peumulia Jamee dalam isu pengungsi di Aceh.
Ditulis oleh: Mohammad Izam Dwi Sukma