Selasa (17/01), Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) mengadakan forum diskusi akademik South East Asia Chat (SEACHAT) yang ke-36. Pada kesempatan kali ini, alumni Program Studi Sosiologi Universitas Gadjah Mada, Ilham Ramadhan D. Arifin, menyampaikan temuannya tentang komoditas gula era Hindia-Belanda di Pulau Karibia dan Jawa. Presentasi dimulai dengan penayangan video terkait perkembangan gula tebu era Hindia-Belanda, di mana gula menjadi komoditas utama global dari abad ke-17 hingga 19.
Dua pulau penghasil gula tebu terbesar di dunia, Karibia dan Jawa, mengalami perkembangan yang sangat pesat, yang mana juga mendatangkan kolonialisme Eropa. Di tengah-tengah penjelasan tentang bagaimana produksi gula dapat menyebabkan kolonialisme, presenter menyajikan data perbandingan produksi kopi, tembakau, dan gula di Kuba dan Jawa pada tahun 1700-1900, yang menunjukkan bahwa produksi gula di kedua pulau tersebut jauh lebih tinggi daripada kopi dan tembakau.
Akan tetapi, presenter menegaskan bahwa meskipun produksi gula tebu di Karibia dan Jawa dikolonisasi oleh Eropa, keduanya mengalami mekanisme yang berbeda. Di Karibia, sistem perbudakan diberlakukan, sehingga para buruh tidak memiliki jaminan kapan mereka dapat keluar dari industri gula tebu. Di sisi lain, industri gula tebu di Jawa identik dengan perburuhan, di mana petani komoditas selain gula dipaksa untuk menanam gula tebu dan komoditas ekspor Eropa lainnya.
Di akhir pemaparannya mengenai industri gula tebu, Ilham menunjukkan refleksi dan relevansi kolonialisme Eropa terhadap produksi gula massal. Mengutip dari Matthew Parker, komoditas gula pada era Hindia-Belanda sama seperti minyak pada saat ini yang secara global mampu menjangkau jauh ke aspek politik, masyarakat, dan ekonomi. Ketika ditanyai tentang nasib pabrik gula di era sekarang mengingat gula bukan komoditas yang multi sektor, presenter menjelaskan bahwa ada pabrik gula yang kini menjadi warisan budaya UNESCO, tetapi sebagian besar sudah diberhentikan secara permanen.
Sebelum menutup sesi diskusi, presenter mengatakan bahwa memori kolektif dari peninggalan industri gula di Indonesia sering dikaitkan dengan hal mistis karena pada zaman itu, banyak pekerja yang meninggal karena tanam paksa. Selain itu, kajian tentang industri gula di era Hindia-Belanda masih sangat memungkinkan untuk dikaji lebih lanjut dengan disiplin ilmu yang lebih spesifik untuk mendapatkan temuan-temuan baru yang lebih signifikan.
oleh: Yumna Amalia Maghfiroh