Sejak tahun 1970-an terhitung terdapat ratusan ribu muslim Rohingya yang kabur dari Myanmar, dengan sebagian besar menggunakan jalur laut untuk mencapai negara-negara tetangga seperti Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Namun jumlah pengungsi yang terhitung besar tersebut juga tidak dapat disambut dengan mudah oleh negara-negara yang dituju, karena kekhawatiran atas tidak terkontrolnya arus pengungsi yang masuk. Indonesia merupakan salah satu dari sedikit negara yang dapat berkomunikasi langsung dengan Myanmar mengenai eskalasi konflik yang terjadi. Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi mengatakan “Once again I conveyed Indonesia’s concerns to State Counsellor Daw Aung San Suu Kyi regarding the situation in Rakhine state,” setelah diundang oleh Suu Kyi dalam acara makan malam dirumahnya sekaligus membahas secara terbuka situasi yang terjadi di Rakhine.[1] Selain Indonesia, Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak memimpin sebuah demonstrasi pada tanggal 4 Desember 2016 mengenai apa yang dia sebut sebagai sebuah “genosida” dari umat minoritas muslim Rohingya di Myanmar. Najib Razak juga mengajak negara-negara tetangga dan dunia internasional untuk maju dalam menekan kekerasan yang terjadi.[2]
Pengaruh modernisasi dan banyaknya konflik agraria yang berdampak pada masyarakat adat menyebabkan banyak desa-desa di Indonesia melakukan kegiatan berbasis masyarakat, tak terkecuali di Mollo, Nusa Tenggara Timur. Pada tanggal 20-23 September 2017, Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) Universitas Gadjah Mada berkesempatan menerima tamu dari perwakilan enam desa yang tergabung dalam Apanola Atolan Pah Mollo (AAPM) atau Pelestari Adat Mollo, yakni desa-desa Ajaobaki, Fatukoto, Fatumnasi, Lelobatan, Nefokoko dan Tune yang melakukan studi banding ke Yogyakarta, antara lain Nglanggeran, di Kabupaten Gunung Kidul, Dlingo di Kabupaten Bantul serta Pulesari di Kabupaten Sleman.
Laut Cina Selatan (LCS) merupakan sebuah wilayah perairan yang memanjang dari Barat Daya ke arah Timur Laut, berbatasan di sebelah selatan dengan 3 derajat lintang selatan antara Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan (Selat Karimata) dan sebelah Utara dibatasai oleh Selat Taiwan dari ujung utara ke arah pantai Fukein, Cina. Luas perairan LCS sendiri diperkirakan mencapai 4 juta kilometer persegi dengan empat sub kepulauan besar yakni Paracel, Spratly, Pratas dan Macclesfield (Asnani Usman dan Rizal Sukma, 1997). LCS yang diduga memiliki potensi besar baik di bidang biota laut, pariwisata, perikanan, minyak, gas alam dan bahkan navigasi membuat banyak negara berusaha secara kuat untuk mendapatkan legalitas atas LCS.
Tidak bisa dipungkiri Film-film Asia Tenggara memiliki posisi tersendiri dan telah mendapat sorotan dunia melalui berbagai bentuk apresiasi. Film-film seperti “Kinatay” karya Briliante Mendoza dari Filipina memenangkan kategori best director pada festival de Cannes pada tahun 2009. Pada tahun 2010, ada film berjudul “Uncle Boonmee” dari Thailand besutan sutradara Apichatpong Weerasethakul yang menyabet gelar Palme d’Or pada ajang yang sama. Terakhir tahun 2016, penghargaan yang sama menjadi milik sineas Indonesia. Karya dari Wregas Bhanuteja berjudul “Prenjak” menjadi film terbaik pada gelaran festival film paling bergengsi tersebut. Fakta diatas menjadi bukti keberhasilan sinema Asia Tenggara dalam mengambil posisi di dalam peta perfilman dunia.
Kawasan Asia Tenggara menjadi sorotan dunia ketika pada akhir tahun 2015 kawasan ini secara resmi memberlakukan komunitas ekonomi ASEAN yang merupakan satu bagian dari tiga pilar ASEAN Community. Namun untuk masyarakat internasional, kawasan Asia Tenggara ini merupakan kawasan yang cukup jarang didalami pengetahuannya, sehingga muncul sebuah pertanyaan mengenai apa yang dimaksud dengan Asia Tenggara? Apakah Asia Tenggara hanya merupakan sebuah kawasan yang terdiri dari negara-negara yang memiliki kekayaan budaya, pemakan nasi, penyuka alat elektronik, dan mengutamakan nilai-nilai kekeluargaan?
Sea Movie berkerjasama dengan Minikino menyelenggarakan pemutaran dengan tajuk Indonesia Raja: Yogyakarta. Indonesia Raja sendiri merupakan program Minikono dalam bentuk kolaborasi antar wilayah/kota di Indonesia yang dilakukan berkala, 1 (satu) kali setiap tahun dalam bentuk pertukaran program film pendek.Tahun ini ada beberapa pembuat film dari beberapa kota yang berpartisipasi dalam kegiatan ini dan salah satunya adalah Yogyakarta.
Pemutaran (16/08/2016)menampilkan kompilasi empat film pendek. Semalam Anak Kita Pulang (Adi Marsono/2015), film berdurasi 12 menit dan 41 detik menjadi film pertama dari rangkain film Indonesia Raja. Adi memotret realitas kehidupan di pedasaan yang saat ini tidak lagi menarik bagi generasi muda pencari kerja. Lewat ibu yang merindukan anaknya, film ini menunjukan keresahan seorang ibu yang tak dapat berjumpa dengan anaknya, bahkan anaknya satu persatu pergi ke tempat lain (kota) untuk mengadu nasib. Nilep (Wahyu Agung Prasetyo/2015), mencoba bermain dengan “baik” dan “buruk” lewat perspektif anak-anak yang malah mengarahkan kepada pengertian bahwa, mungkin, saat ini kedua persepsi tersebut masih kekanak-kanakan pada konteks masyarakat Indonesia. Sasi Takon (Wawan Sumarmo/2015), film pendek yang bercerita tentang dampak dari ketabuhan yang dilanggar dan menimbulkan keresahan yang muncul dari pertanyaan seorang anak kepada ibunya. Film ini merekam kondisi pergaulan masyarakat lewat sisi yang berbeda. Film keempat, Bawang Kembar (Gangsar/2015) merupakan film animasi dengan durasi 18 menit. Hal yang menarik dari film ini ialah menggunakan tokoh mitologi Jawa dan juga nilai moral dan kebaikan yang datang dari bahkan tokoh yang dianggap jahat sekalipun.
Negara-negara Asia Tenggara memiliki peraturan hukuman mati sendiri, sebenarnya mereka semua memilikinya sampai Filipina dan Brunei menghapus hukuman mati mereka. Sebagian besar negara-negara Asia Tenggara memiliki kejahatan yang dapat dihukum dengan modal yang sama seperti; penyelundupan narkoba, kepemilikan narkoba jika dianggap sebagai kejahatan terorganisir atau melebihi batas kuantitas, terorisme, pembunuhan, pengkhianatan, spionase, kejahatan perang, melawan kemanusiaan, dan juga genosida. Namun, setiap daerah memiliki perbedaan dalam peraturan tersebut.
Tahun 2001 lalu aktris ternama Hollywood, Angelina Jolie, mengunjungi daerah Kamboja barat ketika ia sedang menjalani syuting film box-officenya Tomb Raider. Angeline lalu jatuh hati dengan seorang bayi mungil yang baru berumur 7 bulan. Setahun kemudian Angelina resmi mengadopsi bayi tersebut yang kemudian diberi nama ‘Maddox’ dan dirawat hingga kini. Angelina mengakui bahwa dirinya sebenarnya tidak ada keinginan untuk mempunyai anak, sebelum dia berjumpa dengan bayi tersebut. Namun ketika ia bermain bersama anak-anak di sebuah sekolah di Kamboja, hal yang kemudian mengubah pikirannya. Kini, Angelina menjadi seorang ibu dari enam orang anak, dan 3 diantaranya melalui proses adopsi.
Apakah Anda pernah pergi ke Borobudur pada saat Waisak? Atau pergi ke Thailand dan melihat banyak toko yang menyediakan kebutuhan para biksu? Tidak jarang, Anda perlu mempersiapkan uang lebih di dompet Anda.
Ya, ritual agama dan tradisi kebudayaan kini mulai dimanfaatkan oleh para penggiat bisnis untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar dengan dalih pariwisata berbasis budaya. Beberapa tempat ritual keagamaan menerapkan sistem tiket masuk, atau penggunaan atribut keagamaan yang mengharuskan kita membayar sewa. Selain itu, dampak ekonomi juga dirasakan oleh sekitarnya, seperti bisnis makanan dan parkir. Hal inilah yang sering disebut dengan komodifikasi, yang berasal dari kata komoditas dan modifikasi. Sebagian besar ahli dalam penggunaan kontemporer, mengartikan komoditas sebagai suatu barang atau jasa yang berhubungan dengan mode produksi kapitalis dan dapat ditemukan akibat merambahnya paham kapitalisme, ini merupakan warisan Karl Marx dan ekonom politik awal (Appadurai, 1986). Sependapat dengan Karl Marx, Greenwood (1977) pun menyatakan bahwa segala sesuatu yang dijual diasumsikan sebagai bentuk komoditas, tak terkecuali kebudayaan. Modifikasi artinya mengubah. Apabila disatukan dengan pengertian komoditas tadi, komodifikasi adalah pengubahan suatu benda untuk menjadi komoditas yang benilai ekonomis. Shepherd (2002) menyatakan bahwa seiring dengan meningkatnya permintaan wisata, komodifikasi budaya tak bisa dihindarkan karena para turis ingin merasakan pengalaman berbudaya yang beda dari tempat asal mereka. Perdebatan ini cukup hangat didiskusikan oleh publik dan pemerhati budaya maupun agama.
Salah satu konsekuensi dari keanekaragaman yang ada di Asia Tenggara adalah munculnya banyak pertanyaan dinamis dan tidak pernah kadaluarsa untuk didiskusikan. Salah satu pertanyaan membuat kita selalu berpikir adalah, bagaimana kawasan ini bertahan dengan ratusan kepercayaan lokal dan pada saat yang sama menerapkan kebijakan publik mengenai aturan beragama? Dr. Dicky Sofjan mendiskusikan jawaban dari pertanyaan ini dalam diskusi SEA Talks #8, pada Sore Kamis, 16 Juni 2016. Dalam pemaparannya, Dr. Dicky menjelaskan bahwa logika agama yang ada di masyarakat sering berbeda dengan kebijakan publik. Hal ini tidak lepas dari pengaruh sistem demokrasi yang dianut hampir semua negara di Asia Tenggara. Menurutnya, penerapan demokrasi menimbulkan adanya unintended consequences, seperti halnya fenomena penyalahgunaan undang-undang, desentralisasi yang menyebabkan ketimpangan, dan juga multi-intrepretasi terhadap keyakinan salah satu kelompok. Di sisi yang lain, negara juga memiliki otoritas yang besar melalui sistem yang berlaku. Seperti halnya Malaysia yang menerapkan Islam sebagai agama nasional dan tercantum dalam konstitusi. Aturan ini kemudian melegitimasi adanya pengusiran jamaah Ahmadiyah di salah satu masjid di Malaysia dan juga aturan-aturan yang mengarah pada diskriminasi minoritas.