Ketika membaca literatur mengenai sejarah Asia Tenggara, seringali kita dibawa ke dalam penggambaran tentang satu tokoh yang memiliki kedudukan atau kekuasaan pada satu konteks masyarakat. Penggambaran sejarah Asia Tenggara kemudian seringkali berhubungan (secara sengaja ataupun tidak sengaja) secara ketat dengan aspek ekonomi atau politik. Hal ini membuat pembacaan pada literatur sejarah Asia Tenggara sering ditempeli dengan penekanan terhadap fakta, penanggalan, nama-nama atau personal tertentu.
Aktivitas
“Area studies programs were closed or merged into other units; on the eve of the September 11 attacks, half of the top political science departments in the United States did not have a Middle East studies program. ”
—
Kalimat diatas merupakan tulisan Francis Fukuyama yang dikutip oleh Dr. Budiawan sebagai pembuka diskusi SEA-Talks #5, selasa sore (29 Maret 2016) di ruangan Indonesia Pusat Studi Sosial Asia Tenggara. tulisan yang menggambarkan bagaimana nasib terkini secara kelembagaan dari kajian-kajian kawasan di amerika. Pandangan mengenai Krisis pada kajian kawasan oleh Francis Fukuyama tersebut didukung pula dengan tulisan dari Professor Robert Elson yang menyebutkan bahwa, 10 Tahun yang lalu, Asian Studies di Australia memiliki aktivitas yang kuat. Namun kondisinya sekarang telah menurun, dan diyakini hanya Australia National University yang masih bertahan dalam krisis ini.
Siang itu cuaca mendung dan sesaat kemudian hujan turun mengguyur dengan derasnya. Dalam ruang perpustakaan yang tidak sebegitu luas, sekelompok penonton telah duduk manis dan santai, menunggu film Ilo-Ilo arahan Anthony Chen untuk segera diputar. Film berdurasi 100 menit ini, terlepas dari sejumlah penghargaan yang diperolehnya, sangat layak untuk diperbincangkan. Film ini sendiri bersetting tahun 1997, yang kita ketahui pada saat itu negara-negara di kawasan Asia mengalami krisis ekonomi yang dahsyat. Perekonomian lumpuh, pengangguran dimana-mana, Ilo-Ilo merekam semua itu melalui hubungan sederhana majikan dan pembantu, mengikat para tokohnya dalam hubungan sosial-ekonomi yang kemudian berubah makna seiring berjalannya waktu,menjadi hubungan psikologis yang kuat.
Mengenal lebih dekat negara tetangga kita sendiri tentunya menjadi salah satu jalan dalam rangka integrasi Komunitas ASEAN 2015. Jum’at, 26 Februari 2016 lalu, PSSAT mengadakan acara SEA-Chat Understanding Thailand. SEA-Chat atau Southeast Asian Chat ini merupakan agenda bulanan PSSAT yang mengajak mahasiswa untuk berdiskusi tentang salah satu negara di Asia Tenggara langsung dengan mahasiswa dari negara tersebut. Hal ini diharapkan mampu memberikan gambaran yang nyata tentang keadaan negara tersebut, saling berbagi informasi dan sebagai jalan untuk memahami satu sama lainnya.
Masyarakat di kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya diyakini memiliki kesamaan atau berakar dari sumber yang sama. Hal ini tercirikan dari beberapa budaya, adat istiadat, serta nilai-nilai yang sampai saat ini masih tercermin dalam kehidupan masyarakat di kawasan asia tenggara dan sekitarnya. Tesis ini disampaikan oleh Ronnie Hatley Ph.D dalam presentasinya pada diskusi SEA-TALKS Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM bekerja sama dengan American Institute For Indonesian Studies. Diskusi ini yang diadakan pada kamis, 18 Februari 2016, dengan diikuti oleh puluhan akademisi dan periset dari berbagai latar belakang keilmuan.
Program perdana SEA Talks PSSAT pada tanggal 29 Mei 2015 bertajuk “Media Massa dan Konstruksi Masyarakat ASEAN”. Dr. Phil. Hermin Indah Wahyuni, M.Si, menjadi pembicara pada sore itu. Menurut pembicara yang juga sekaligus kepala PSSAT tersebut bahwa media massa saat ini belum sepenuhnya peduli mengenai pentingnya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Media massa, dalam hal ini jurnalis, perlu lebih dalam mengetahui isu ini sehingga tidak hanya menjadi wacana pada tingkatan elit semata akan tetapi informasi ini dapat sampai hingga kepada masyarakat dikawasan Asia Tenggara itu sendiri.
Sengketa laut tiongkok selatan sampai saat ini masih menyisakan berbagai permasalahan. Indonesia bukan negara yang terlibat dalam sengketa ini, namun latar belakang posisi indonesia sebagai sebagai negara yang sering dianggap mampu berdiri netral di tengah-tengah permasalahan seperti ini, menjadikan negara ini seakan-akan memiliki kewajiban untuk menempatkan diri dalam penyelesaikan sengketa tersebut. Beberapa alasan lain yang melatarbelakangi terlibatnya Indonesia dalam penyelesaian sengketa ini dikarenakan beberapa hal. Pertama, semakin berlarutnya permasalahan ini dikhawatirkan akan berdampak kepada kestabilan hubungan negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Tidak membaiknya kondisi sengketa ini berpotensi terhadap terhambatnya eksporasi sumber daya alam dan aktivitas ekonomi lain. Sisi lainya, Indonesia dapat menunjukkan citranya sebagai pemimpin kawasan yang bertanggung jawab dengan mengambil peran dalam penyelesaian sengketa ini. Tanpa adanya dorongan untuk dapat mencapai penyelesaiannya sengketa ini oleh pihak Indonesia, tentu akan menurunkan citra Indonesia sendiri.