Produksi pengetahuan yang terjadi karena interaksi sosial para pelajar Indonesia di Mesir, khususnya di Universitas Al-Azhar, memiliki peran besar dalam pembentukan identitas kosmopolitan. Dalam konteks ini, kondisi sosial sehari-hari mahasiswa di Mesir ternyata lebih berpengaruh dalam produksi pengetahuan daripada latar belakang akademik. Hal ini disampaikan oleh Prof. Dr. Judith Schlehe, Profesor dari Departemen Antropologi Universitas Freiburg, dalam diskusi SEA-Talks #14 pada Jumat (07/04). Diskusi bertajuk “Student Mobility & Knowledge Migration: Indonesian Azharites as Cultural Agents” ini diadakan di kantor Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM.
Aktivitas
Sawatdi Khrab!
Nama saya Jusuf, atau biasa dipanggil Ucup. Dalam artikel ini, saya akan menceritakan pengalaman saya ketika mengikuti Liberal Arts ASEAN Seeds Camp III, tanggal 9-14 Januari 2017 yang diselenggarakan oleh Universitas Thammasat di Rangsit, Thailand.
Acara ini diselenggarakan selama enam hari di beberapa kota, seperti Rangsit, Ayuthaya, Kumphaeng Phet, dan Sukhothai. Disana kami mengunjungi daerah wisata dan kerajinan. Ketika berada di Sukhothai, kami mengunjungi musium Ram Kamhaeng, Sukhothai Historical Park, Sukhothai Airport, industri tenun tradisional Haad Siew, dan sentra kerajinan tanah liat Sukhothai. Jadwal kegiatannya pun cukup padat. Setiap hari, acara dimulai pukul 06.00 pagi dan berakhir pukul 20.00, kecuali pada waktu tertentu dimana kami dipulangkan lebih awal karena haruspindah melanjutkan perjalanan ke kota.
Pengaruh modernisasi dan banyaknya konflik agraria yang berdampak pada masyarakat adat menyebabkan banyak desa-desa di Indonesia melakukan kegiatan berbasis masyarakat, tak terkecuali di Mollo, Nusa Tenggara Timur. Pada tanggal 20-23 September 2017, Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) Universitas Gadjah Mada berkesempatan menerima tamu dari perwakilan enam desa yang tergabung dalam Apanola Atolan Pah Mollo (AAPM) atau Pelestari Adat Mollo, yakni desa-desa Ajaobaki, Fatukoto, Fatumnasi, Lelobatan, Nefokoko dan Tune yang melakukan studi banding ke Yogyakarta, antara lain Nglanggeran, di Kabupaten Gunung Kidul, Dlingo di Kabupaten Bantul serta Pulesari di Kabupaten Sleman.
Tidak bisa dipungkiri Film-film Asia Tenggara memiliki posisi tersendiri dan telah mendapat sorotan dunia melalui berbagai bentuk apresiasi. Film-film seperti “Kinatay” karya Briliante Mendoza dari Filipina memenangkan kategori best director pada festival de Cannes pada tahun 2009. Pada tahun 2010, ada film berjudul “Uncle Boonmee” dari Thailand besutan sutradara Apichatpong Weerasethakul yang menyabet gelar Palme d’Or pada ajang yang sama. Terakhir tahun 2016, penghargaan yang sama menjadi milik sineas Indonesia. Karya dari Wregas Bhanuteja berjudul “Prenjak” menjadi film terbaik pada gelaran festival film paling bergengsi tersebut. Fakta diatas menjadi bukti keberhasilan sinema Asia Tenggara dalam mengambil posisi di dalam peta perfilman dunia.
Sea Movie berkerjasama dengan Minikino menyelenggarakan pemutaran dengan tajuk Indonesia Raja: Yogyakarta. Indonesia Raja sendiri merupakan program Minikono dalam bentuk kolaborasi antar wilayah/kota di Indonesia yang dilakukan berkala, 1 (satu) kali setiap tahun dalam bentuk pertukaran program film pendek.Tahun ini ada beberapa pembuat film dari beberapa kota yang berpartisipasi dalam kegiatan ini dan salah satunya adalah Yogyakarta.
Pemutaran (16/08/2016)menampilkan kompilasi empat film pendek. Semalam Anak Kita Pulang (Adi Marsono/2015), film berdurasi 12 menit dan 41 detik menjadi film pertama dari rangkain film Indonesia Raja. Adi memotret realitas kehidupan di pedasaan yang saat ini tidak lagi menarik bagi generasi muda pencari kerja. Lewat ibu yang merindukan anaknya, film ini menunjukan keresahan seorang ibu yang tak dapat berjumpa dengan anaknya, bahkan anaknya satu persatu pergi ke tempat lain (kota) untuk mengadu nasib. Nilep (Wahyu Agung Prasetyo/2015), mencoba bermain dengan “baik” dan “buruk” lewat perspektif anak-anak yang malah mengarahkan kepada pengertian bahwa, mungkin, saat ini kedua persepsi tersebut masih kekanak-kanakan pada konteks masyarakat Indonesia. Sasi Takon (Wawan Sumarmo/2015), film pendek yang bercerita tentang dampak dari ketabuhan yang dilanggar dan menimbulkan keresahan yang muncul dari pertanyaan seorang anak kepada ibunya. Film ini merekam kondisi pergaulan masyarakat lewat sisi yang berbeda. Film keempat, Bawang Kembar (Gangsar/2015) merupakan film animasi dengan durasi 18 menit. Hal yang menarik dari film ini ialah menggunakan tokoh mitologi Jawa dan juga nilai moral dan kebaikan yang datang dari bahkan tokoh yang dianggap jahat sekalipun.
Salah satu konsekuensi dari keanekaragaman yang ada di Asia Tenggara adalah munculnya banyak pertanyaan dinamis dan tidak pernah kadaluarsa untuk didiskusikan. Salah satu pertanyaan membuat kita selalu berpikir adalah, bagaimana kawasan ini bertahan dengan ratusan kepercayaan lokal dan pada saat yang sama menerapkan kebijakan publik mengenai aturan beragama? Dr. Dicky Sofjan mendiskusikan jawaban dari pertanyaan ini dalam diskusi SEA Talks #8, pada Sore Kamis, 16 Juni 2016. Dalam pemaparannya, Dr. Dicky menjelaskan bahwa logika agama yang ada di masyarakat sering berbeda dengan kebijakan publik. Hal ini tidak lepas dari pengaruh sistem demokrasi yang dianut hampir semua negara di Asia Tenggara. Menurutnya, penerapan demokrasi menimbulkan adanya unintended consequences, seperti halnya fenomena penyalahgunaan undang-undang, desentralisasi yang menyebabkan ketimpangan, dan juga multi-intrepretasi terhadap keyakinan salah satu kelompok. Di sisi yang lain, negara juga memiliki otoritas yang besar melalui sistem yang berlaku. Seperti halnya Malaysia yang menerapkan Islam sebagai agama nasional dan tercantum dalam konstitusi. Aturan ini kemudian melegitimasi adanya pengusiran jamaah Ahmadiyah di salah satu masjid di Malaysia dan juga aturan-aturan yang mengarah pada diskriminasi minoritas.
Seberapa jauh Anda mengenal tetangga Anda? Tetangga barangkali orang terdekat yang justru menyimpan enigma dan tak jarang prasangka. Tapi, sinema bisa membantu Anda menyingkap tabir tetangga terdekat kita: Malaysia. Ada lima film pilihan yang bisa menjadi jendela Anda untuk mengintip tetangga kita Malaysia. Sepet besutan Yasmin Ahmad menguak relasi antaretnis yang pelik di Malaysia. Sementara itu, Ho Yuhang lewat Rain Dog menapaki lorong gelap kondisi etnis Cina di Malaysia. Begitu pula, Songlap besutan duo Effendy Mazlan dan Fariza Azlina Isahak tanpa tedeng aling-aling menguak sisi lain dari gemerlap ibukota Kuala Lumpur. Sebaliknya, Dain Iskandar Said lewat Bunohan membawa Anda mengenali wajah pinggiran Malaysia yang tak kalah rumitnya. Dan, terakhir, Mamat Khalid mengajak Anda mencicipi cita rasa sinema Melayu klasik berbalut gaya ‘film noir’ dalam Kala Bulan Mengambang’ yang sarat dengan alegori politik kontemporer Malaysia. Maka, saksikan sinema Malaysia dan raihlah kesempatan mengenalinya. (Budi Irawanto)
Ketika membaca literatur mengenai sejarah Asia Tenggara, seringali kita dibawa ke dalam penggambaran tentang satu tokoh yang memiliki kedudukan atau kekuasaan pada satu konteks masyarakat. Penggambaran sejarah Asia Tenggara kemudian seringkali berhubungan (secara sengaja ataupun tidak sengaja) secara ketat dengan aspek ekonomi atau politik. Hal ini membuat pembacaan pada literatur sejarah Asia Tenggara sering ditempeli dengan penekanan terhadap fakta, penanggalan, nama-nama atau personal tertentu.
“Area studies programs were closed or merged into other units; on the eve of the September 11 attacks, half of the top political science departments in the United States did not have a Middle East studies program. ”
—
Kalimat diatas merupakan tulisan Francis Fukuyama yang dikutip oleh Dr. Budiawan sebagai pembuka diskusi SEA-Talks #5, selasa sore (29 Maret 2016) di ruangan Indonesia Pusat Studi Sosial Asia Tenggara. tulisan yang menggambarkan bagaimana nasib terkini secara kelembagaan dari kajian-kajian kawasan di amerika. Pandangan mengenai Krisis pada kajian kawasan oleh Francis Fukuyama tersebut didukung pula dengan tulisan dari Professor Robert Elson yang menyebutkan bahwa, 10 Tahun yang lalu, Asian Studies di Australia memiliki aktivitas yang kuat. Namun kondisinya sekarang telah menurun, dan diyakini hanya Australia National University yang masih bertahan dalam krisis ini.
Siang itu cuaca mendung dan sesaat kemudian hujan turun mengguyur dengan derasnya. Dalam ruang perpustakaan yang tidak sebegitu luas, sekelompok penonton telah duduk manis dan santai, menunggu film Ilo-Ilo arahan Anthony Chen untuk segera diputar. Film berdurasi 100 menit ini, terlepas dari sejumlah penghargaan yang diperolehnya, sangat layak untuk diperbincangkan. Film ini sendiri bersetting tahun 1997, yang kita ketahui pada saat itu negara-negara di kawasan Asia mengalami krisis ekonomi yang dahsyat. Perekonomian lumpuh, pengangguran dimana-mana, Ilo-Ilo merekam semua itu melalui hubungan sederhana majikan dan pembantu, mengikat para tokohnya dalam hubungan sosial-ekonomi yang kemudian berubah makna seiring berjalannya waktu,menjadi hubungan psikologis yang kuat.