“Setelah berakhirnya pandemi Covid-19, kemungkinan akan kembali ke skenario business as usual atau munculnya kenormalan-kenormalan baru karena belum ada bahasan mengenai bagaimana seharusnya membangun relasi sosial dan ekologis,” tutur I Gusti Agung Made Wardana, Ph.D. dalam webinar SEATALK #34 yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) UGM pada hari Selasa (11/04/2020).
Diskusi webinar dengan topik Pandemi Covid-19 dalam Teropong Ilmu Sosial menghadirkan dua pembicara, yaitu I Gusti Agung Made Wardana, Ph.D. (Departemen Hukum Lingkungan Fakultas Hukum UGM) dan Dr. Aprinus Salam, M.Hum. (Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM). Covid-19 merupakan zoonosis sehingga tidak dapat dilepaskan dari relasi sosial dengan ekologis.
Agung secara runtut menyoroti kondisi manusia dengan alam pada saat sebelum pandemi, saat pandemi, dan pasca-pandemi. Menurut teori The Great Acceleration, dapat dilihat bagaimana laju kehilangan hutan di Kalimantan sejak tahun 1973 hingga 2020. Hilangnya hutan secara tidak langsung merupakan bermula dari tidak berfungsinya hukum lingkungan secara maksimal. Akibatnya, habitat alami satwa liar mengalami perusakan yang diikuti dengan perdagangan satwa liar yang memungkinkan terjadinya perpindahan penyakit dari satwa liar ke tubuh manusia. Dahulu, satwa liar dimanfaatkan dalam bidang pengobatan tradisional China, namun kini pemanfaatannya meluas hingga ke ranah kuliner dan fashion.
Indonesia merupakan pemasok satwa liar ke pasar dunia, termasuk trenggiling. Perdagangan ilegal satwa liar dari Jawa ke China sudah dimulai sejak tahun 1925. Pada tahun 2015-2018 di Indonesia terdapat 23 kasus perdagangan ilegal trenggiling berjumlah lebih dari 3.300 ekor dengan tujuan utama China. Data ini membuktikan bahwa Indonesia memiliki kontribusi secara tidak langsung bagi kemunculan Covid-19 karena Indonesia telah gagal mencegah laju perdagangan ilegal satwa liar ke tingkat dunia.
Pada saat terjadi pandemi, kebijakan lockdown dan physical distancing yang lazim diterapkan, berimbas pada menurunnya polusi dan pencemaran sehingga ada perbaikan lapisan ozon. Akan tetapi, di sisi lain terjadi penundaan penegakan hukum lingkungan yang dapat berdampak pada peningkatan kejahatan lingkungan oleh lemahnya pengawasan, mengesampingkan instrumen pencegahan kerusakan lingkungan, dan peningkatan sampah (plastik, medis, deterjen, dan lain sebagainya). Pasca-pandemi Covie-19, Agung menegaskan bahwa konsep reorientasi untuk menjaga keseimbangan manusia dengan alam sangat diperlukan untuk mencegah pandemi-pandemi pada masa mendatang. Selanjutnya, ketertinggalan ekonomi dapat dikejar.
Dr. Aprinus Salam menuturkan bahwa pandemi Covid-19 membawa dampak pada normalisasi-normalisasi baru tentang kehidupan dan kematian. Pandemi ini membuat kehidupan berubah. Ada normalisasi baru, seperti berkegiatan dari rumah, berkomunikasi dari rumah, dan tidak perlu berkontak fisik. Pun ada normalisasi baru tentang kematian.
“Pandemi Covid-19 ini adalah uji coba kita, dunia kehidupan seperti apa yang akan kita alami pada masa mendatang,” tutur Dr. Aprinus Salam.
Setiap kelas dalam masyarakat memiliki parameter normalisasi kehidupan dan kematian yang berbeda yang membentuk konfigurasi tataran kebudayaan dalam tingkat dunia. Lebih lanjut, Dr. Aprinus Salam menambahkan bahwa kebudayaan harus di-rethinking atau dikaji ulang karena ada potensi terbentuknya kesetimbangan new normal. Selama ini strategi budaya di dunia bisa berjalan dengan hal-hal yang tidak selalu material, tetapi juga denga hal yang tak kasat mata. Diperlukan strategi-strategi kebudayaan masa mendatang untuk mendapatkan kesetimbangan. Harus ada keseimbangan antara pencipta, manusia, alam, dan aspek lain utk ke depannya. Ketika hidup seimbang, maka hidup dinilai normal.